Kampus Kikir Parkir
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswi Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Simbol kemajuan sebuah lembaga pendidikan memang tidak hanya dilihat dari sesuatu yang kasat mata. Namun, secara kasat mata sebuah kekurangan itu mampu menghambat proses pembelajaran. Dalam dunia pendidikan pastinya ada unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam hal manajerial, salah satunya adalah sarana dan prasarana. Manajemen sarana prasarana(sarpras) mempunyai beberapa prinsip, yaitu perencanaan, pengadaan, pengawasan, penghapusan, serta efisiens. Semua itu adalah penunjang kelancaran proses belajar mengajar.
Melihat beberapa prinsip manajemen sarpras sebagai penunjang kelancaran KBM, IAIN Walisongo termasuk salah satu lembaga pendidikan yang belum mampu memberikan fasilitas yang cukup memadai kepada seluruh sifitas akademika. Jika dilihat dari prinsip pencapaian tujuan manajemen sarana dan prasarana, maka kampus ini jauh dari klasifikasi kampus yang makmur. Hal ini dapat dibuktikan dengan ketiadaan parkiran mobil di berbagai gedung. Dengan adanya kekurangan tersebut tidak mengherankan kampus ini masih jauh dari konversi UIN yang akhir-akhir ini digamang-gamang oleh seluruh masyarakat IAIN Walisongo.
Penyelenggaraan prinsip efisien manajemen sarpras di IAIN Walisongo tergolong payah, sebab dalam pembangunan parkiran motor untuk mahasiswa saja letaknya tidak strategis. Hal inilah yang menyebabkan adanya pameran motor di sepanjang jalan gedung demi gedung. Simbol yang kasat mata inilah yang kemudian memberikan kesan tidak ada ketertiban dan kedisiplinan di kalangan mahasiswa IAIN Walisongo. Sehingga usaha untuk mangkir dari image burukpun tidak bisa dilakukan. Mungkin karena inilah masyarakat memandang remeh kualitas bibit-bibit yang tumbuh dari IAIN Walisongo.
Selain itu, ketiadaan parkiran mobil sebenarnya memunculkan keheranan dari berbagai pihak, khususnya mahasiswa. Berbagai praduga sering bermunculan seiring dengan adanya pembangunan jalan yang menghubungkan antar kampus. Bahkan pandangan negatif juga menjangkit penghuni kampus. Pasalnya, ketiadaan parkiran mobil memberi simbol adanya rasa takut dari pejabat kampus tersaingi oleh mahasiswa, seolah tidak mengharapkan mahasiswa mempunyai mobil. Alasan prinsip efesiensi dalam manajemen pendidikan mungkin saja dilakukan oleh pihak kampus, mengingat sebagian besar mahasiswa kampus hijau ini adalah anak pedesaan. Hal ini memang dibenarkan oleh alam, sampai detik ini mahsiswa kampus yang memiliki 3 lokasi gedung tidak ada yang membawa mobil sewaktu kuliyah. Entah takut parkir sembarang tempat seperti yang, entah itu tidak punya, atau alasan lain yang jelas sampai sekarang mahasiswa tidak ada yang membawa mobil ketika ke kampus.
Jika melihat status kampus yang masih di bawah negara, maka prinsip inventaris itu harus dilakukan. Seharusnya anggaran pembangunan fasilitas itu sudah ada anggaran tersendiri. Lantas kemanakah anggaran tersebut, padahal untuk pembangunan jalan dan gedung saja bisa, kenapa untuk membuat parkiran saja tidak dilakukan. Di sinilah prinsip dan fungsi manajemen harus benar-benar diterapkan untuk mendapatkan hasil dan pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan oleh bangsa. Selain itu, dalam menjalankan proses manajerial juga dibutuhkan orang yang memang benar-benar ahli di bidangnya. Ketegasan, tanggungjawab, serta loyalitas pemegang kuasa harus benar-benar teruji. Wa Allahu al-a’lam bi al-shawab
Reply
Muhammad Khoirul Anam
12/27/2013 12:19:54 pm
Stagnasi Kualitas Mahasiswa FITK
Oleh: Muhammad Khoirul Anam
Fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan (FITK) adalah fakultas dari Institut Agama Islam Negri Walisongo Semarang (IAIN). Di IAIN terdapat beberapa fakultas, yaitu fakultas dakwah, fakultas syari’ah, dan fakultas tarbiyah. Masing – masing fakultas memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri – sendiri. Dan kualitas yang dihasilkan juga berbeda – beda.
Fakultas tarbiyah misalnya. Fakultas tarbiyah adalah fakultas yang rata – rata dimasuki oleh mahasiswa berkualitas lebih baik dibandingkan dngan fakultas lainya yang ada di IAIN Walisongo Semarang. Mahasiswa yang masuk di fakultas tarbiyah dicetak menjadi seorang guru yang mana diharapkan memiliki kualitas intelektual tinggi. Tidak hanya menjadi seorang guru biasa saja, akan tetapi menjadi seorang guru yang memiliki pengetahuan agama lebih, daripada universitas – universitas umum lainya.
Akan tetapi pada kenyataanya fakultas tarbiyah masih belum banyak menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dibanding dengan mahasiswa fakultas – fakultas lainya di IAIN, mahasiswa fakultas tarbiyah bisa dikatakan memiliki kualitas yang lebih unggul. Akan tetapi dalam proses pembelajaran masih minim mahasiswa terbaik yang dicetak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa FITK tidak mengalami peningkatan intelektual.
Banyak mahasiswa yang mendapatkan gelar lulusan terbaik dari fakultas – fakultas selain tarbiyah. Misalnya fakultas ushuludin. Fakultas ushuludin tiap tahunya bisa menghasilkan lulusan terbaik. Yang semula mahasiswa ushuludin adalah rata – rata mahasiswa yang kualitasnya dibawah mahasiswa fakultas tarbiyah, mampu mengalahkan mahasiswa fakultas tarbiyah.
Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa fakultas ushuludin lebih berkembang atau mengalami peningkatan dibanding mahasiswa fakultas tarbiyah. Kebanyakan mahasiswa fakultas tarbiyah tidak menydari akan hal itu. Mereka menganggap fakultas mereka adalah fakultas yang terbaik dibanding fakultas lainya. Akan tetapi kenyataanya mahasiswa fakultas tarbiyah staknan, atau bahkan mengalami penurunan kualitas.
Didalam sistem pembelajaran mahasiswa fakultas tarbiyah, mereka hanya menerima bagaimana pembelajara seorang guru, mengenai materi yang disampaikan hanya 30 % saja. Sedangkan pada fakultas lainya, subtansi atau materi yang diajarkan paling sedikit 50 %. Hal ini diduga salah satu hal yang membuat kualitas mahasiswa fakultas tarbiyah staknan. Seharusnya mahasiswa fakultas tarbiyah banyak yang tercetak menjadi mahasiswa terbaik karna sebelumnya memiliki kualitas yang lebih dibanding dengan mahasiswa yang masuk di fakultas lainya.
Untuk membuat fakultas tarbiyah lebih banyak menghasilkan mahasiswa berkualitas tinggi dibanding mahasiswa fakultas lain, seharusnya sistem pembelajaran di fakultas tarbiyah diperbaiki. Tidak banyak mahasiswa tarbiyah masuk hanya formalitas absensi belaka. Seharusnya IAIN mampu membuat sistem pembelajaran di fakultas tarbiyah yang lebih baik, agar staknasi kualitas mahasiswa dapat dihilangkan.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan semngat baca dan berdiskusi para mahasiswa fakultas tarbiyah. Tidak hanya beracuan pada mahasiswa, akan tetapi peningkatan juga harus dilakukan pada dosen – dosen tarbiyah agar materi yang disampaikan ke mahasiswa lebih fokus dan memahamkan. Tata tertib juga harus ditegakkan, misalnya kedisiplinan mahasiswa maupun dosen fakultas tarbiyah. Diharapkan dari peraturan tata tertib yang ketat, membuat adanya persaingan antar mahasiswa fakultas tarbiyah untuk bertahan dalam sisitem pembelajaran.
Reply
Moh Nurul Huda
12/27/2013 12:23:55 pm
Disfungsi Mahasiswa Sebagai Pembela Bangsa
Oleh: Moh Nurul Huda
Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang dan Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN)
Berbicara tentang mahasiswa, memang sangat elok sekali untuk diperbincangkan. Sebab, mahasiswa dipandang sebagai kaum eksklusif yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dari masa ke masa. Dengan kata lain, adanya mahasiswa sedikit banyak telah mewarnai kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Sebab, disamping mahasiswa dipandang sebagai kaum terdidik yang menempati strata paling tinggi. Mereka juga dipandang sebagai pembela masyarakat yakni sebagai agen social of change (agen perubahan yang lebih baik), agen social of control (pengontrol kebijakan pemerintah terhadap masyarakat), iron stock (sebagai stok untuk masa depan).
Hal ini terlihat jelas dengan pergerakan mahasiswa yang mampu menumbangkan masa ORLA (orde lama) menjadi otoritas ORBA (orde baru) pada tahun 1966. Selain itu, tumbangnya rezim Soeharto hingga berubah menjadi masa reformasi setidaknya juga telah menunjukkan bukti nyata, bahwa mahasiswa adalah pembela masyarakat. Dengan kata lain sebagai pengemban ketiga amanah diatas. Namun ironis, ketika kita melihat mahasiswa sekarang ini. Sebab, dewasa ini mahasiswa yang notabene sebagai pembela masyarakat justru telah mengalami disfungsi. Dalam artian mahasiswa sekarang ini hanya saklek terhadap dunia pendidikan semata, tanpa memperhatikan nasib masyarakat. Dengan kata lain, ketiga amanah yang diberikan kepada mahasiswa dewasa ini telah dianaktirikan.
Hingga akhirnya beginilah rutinitas sebagaian besar mahasiswa. Kuliah pulang kuliah pulang (kupu-kupu), kuliah rapat kuliah rapat (kura-kura), dan kuliah nongkrong pulang kuliah nongkrong pulang (kunang-kunang) tanpa adanya aksi yang terealisasi. Hal ini terlihat jelas dengan banyakanya problematika yang terjadi di birokrasi negara seperti korupsi dan lain sebagainya. Akan tetapi kebanyakan mahasiswa hanya berpangku tangan dan apatis terhadap masalah-masalah tersebut. Nah, dari perkara inilah yang secara tidak langsung sedikit demi sedikit membuat nasib rakyat semakin hari semakin pelik, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak tahu menahu keadaan asli masyarakat. Dengan kata lain, tidak adanya pengontrol mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah kepada masyarakat sedikit banyak telah berdampak cukup signifikan.
Selain itu, banyaknya mahasiswa yang mengalami disorientasi pun sedikit banyak membuat citra mahasiswa dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Yakni mahasiswa yang notabene sebagai agen perubahan menuju lebih baik justru tidak menciptakan suatu perubahan. Nah, dari ha itulah mahasiswa sekarang ini ibaratnya “wujuduhu kaadamihi” wujudnya mahasiswa sama seperti tidak adanya mahasiswa. Bahkan, tak sedikit orang pula yang berpandangan bahwa mahasiswa adalah kaum intlektual yang nantinya akan menjadi penerus koruptor pada birokrasi negara. Sebab, tidak adanya hubungan antara mahasiswa dan masyarakat membuat banyak orang yang berparadigma sedemikian rupa. Di sisi lain, kandasnya pergerakan mahasiswajuga disebabkan karena banyakanya mahasiswa yang tidak tahu akan tanggung jawab yang diembannya.
Oleh sebab itu, jika mahasiswa hanya berpangku tangan dan tidak melakukan pergerakan yang memadai. Maka masyarakat pun akan bersikap apatis terhadap mahasiswa. Maka langkah konkrit yang seharusnya dilakukan adalah membuktikan kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat dengan malakukan tugas yang diembannya tersebut. Sebab, Diskates berasumsi bahwa jika aku berpikir maka aku ada. Wallahu a’lam bi al-sowab.
Reply
Khoirika Mahmudah
12/27/2013 01:12:00 pm
Revitalisasi Tradisi Ilmiah pada Mahasiswa
Oleh: Khoirika Mahmudah
Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang dan Pemerhati Bangsa
Menjadi seorang mahasiswa merupakan salah satu pilihan para pelajar setelah menyelesaikan studi di jenjang pendidikan menengah. Secara langsung, mereka akan dinyatakan berstatus sebagai seorang mahasiswa ketika mereka sudah terdaftar di Perguruan Tinggi. Status inilah menunjukkan adanya peningkatan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, tentu sebagai seorang mahasiswa harus memahami segala gejolak akademis, intelektual dan sosial di Kampus. Terlebih mengerti akan peran, posisi serta tanggung jawab dalam diri mereka. Mahasiswa yang sering kali disebut sebagai agent of social change harus menunjukkan action yang mampu memberi warna bagi perubahan sosial, baik di lingkungan Kampus atau di ruang lingkup Masyarakat. Yang terpenting mahasiswa harus menyadari posisi mereka tidak lagi sebagai pelajar seusia SMA melainkan sudah menempuh pendidikan strata satu. Posisi ini haruslah dipahami bukan hanya sekadar move on status melainkan sifat dan perilaku serta peran haruslah dirubah.
Sebut saja, jika mereka masih berstatus pelajar SMA atau di bawahnya, maka sikap manja masih wajar melekat dalam kepribadian. Mereka tidak harus berusaha untuk membedah ilmu pengetahuan yang mereka hendak dapatkan, tetapi mereka lebih mengandalkan penjelasan Guru atau sering disebut dengan metode pembelajaran (pedagogik).
Lain dengan mahasiswa, tidak lagi menggunakan pembelajaran yang mengharuskan seorang pendidik untuk menyuapi asupan ilmu terhadap mereka, tetapi menganggap pendidik sebagai fasilitator yang hanya menghantarkan lebih umum.Sedangkan untuk mendapakan ilmu pengetahuan yang ebih men-detail mereka berkewajiban untuk mencari dengan usaha diri sendiri. Hal ini bisa diapatkan salah satunya dengan membaca berbagai Literatur yang ada. Toh, berbagai macam buku berisi ilmu pengetahuan juga tergolong mudah untuk ditemui di kalangan Kampus. Salah satunya bisa ditemukan di Perpustakaan yang sudah tersedia dengan free. Mereka akan lebih mudah mengembangkan kmampuan dan menjawab berbagai pertanyaan perihal ilmu di perkuliahan di Gudang Ilmu tersebut.
Itulah yang menjadi salah satu kelebihan seoarang mahasiswa. Mereka secara bebas latih otak dengan berpikir secara liar dan membuka wawasan yang ebih luas dengan membaca mandiri. Tidak harus menunggu paparan dari Dosen. Tetapi bisa dilakukan secara sederhana.
Namun, dewasa ini minat membaca pada diri mahasiswa terlihat semakin mengalamai penurunan yang cukup signifikan. Sederhana, perpustakaan yang disediakan untuk tempat membaca seringkali nampak sepi dibandingkan dengan tempat tongkrongan di sekitar lingkungan kampus. Kebanyakan dari mahasiswa lebih memilih asyik nongkrong tanpa ada topik pembicaraan yang berarti.
Selain itu, hal ini juga dibuktikan ketika diskusi sedang berlangsung, tidak banyak dari mereka yang mampu mewarnai kelas dengan memberikan sumbangsih pemikiran keilmuan. Kalaupun tidak demikian, mereka seringkali berargumen tanpa dilandasi referensi buku yang jelas dan kongrit.
Ironis, ruh tradisi ilmiyah yang seharusnya ada dalam diri mahasiswa sudah mulai dihilangkan dari keperibadian mahasiswa yang sesungguhnya. Tiga aktivitas akademik yakni membaca, berpikir, dan menulis tidak lagi menjadi suatu hal penting yang perlu diperhatikan. Mereka seringkali lebih mengunggulkan tradisi oral warisan nenek moyang dahulu. Mereka hanya mampu beretorika dengan tanpa landasan normatif yang bersifat ilmiyah. Informasi yang diperoleh lebih sering merujuk pada info dari orang lain atau mengandalkan indra telinga - mendengarkan- .
Padahal, dengan trio academic activity, seorang akademisi dipercaya mampu menyangga peradaban keberaksaan atau literatur yang berpondasikan teks bukan lisan. Dengan tulisan itu lah akan membantu mahasiswa mampu memberikan argumen yang logis dan rasional. Bukan hanya sekedar mampu Omdo (Omong Doang) atau Nggedobos. Selain itu, dengan menerapkan ketigaruh tradisi imiyah tersebut akan mampu membuat literatur intelektual baru. Diawali dengan membaca untuk kemudian direnungi dan diahri dalam bentuk tulisan ilmiah. Inilah yang menjadi harapan besar bagi setiap individu sehingga seorang mahasiswa mampu mewujudkan secra riil peran dan posisi mereka sebagai agent of social change.
Oleh karena itu, ruh tradisi ilmiyah harus segera dipulihkan kembali dengan selalu aktif membaca, berpikir dan menulis. Karena jika tradisi ini tidak segera dipulihkan, maka perlu dipertanyakan status mahasiswanya itu. "Masihkah hidup atau sudah mati?." Menghilangkan salah satu dari ketiga unsur ruh bisa diartikan sudah lumpuh, bahkan jika ruh itu sudah hilang dari kepribadian seorang mahasiswa berarti ruh sudah mati. Dengan demikian, revitalisasi ruh tradisi ilmiah sangat diperlukan untuk segara dilaksanan sehingga nanti mampu menjadi mahasiswa yang sesungguhnya. Seorang yang memiliki kepribadian akademisi dan teruslah melekat dalam individu masing-masing.
Reply
Mia Rinekasswara
12/27/2013 06:40:17 pm
Kritisisme Mahasiswa Kian Menurun
Oleh: Mia Rinekasswara
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Mahasiswa memiliki sifat yang sudah mendarah daging sejak dulu, yaitu KRITIS. Sifat itu sudah seperti sepasang suami istri yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal ini tidak keliru, karena mengingat mahasiswa memiliki modal yang lebih banyak dari masyarakat biasa baik dalam ilmu pengetahuan maupun pengalaman. Sepanjang perjalanan bangsa ini, mulai dari kebangkitan nasional, kemerdekaan, hingga reformasi menempatkan mahasiswa sebagai bagian yang berperan penting dalam perubahan. Para pemuda tersebut memiliki ide cemerlang yang mampu mengubah peradaban di setiap masanya. Perjuangan mereka merupakan usaha murni, dipandang netral, bersih dan bebas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis.
Romantisme tersebut masih menjadi kebanggaan hingga saat ini. Kita harus bangga dengan masa lalu mahasiswa yang begitu cemerlang. Predikat “agent of social change” masih kita yakini akan selalu ada dalam diri para mahasiswa. Hingga kita sadar dan perlu bertanya, masih pantaskah gelar kebanggaan itu dihadiahkan kepada Mahasiswa dimasa sekarang ini?
Namun, sangat disayangkan ketika negara kita dihadapkan pada masalah yang semakin semeraut, peran mahasiswa justru semakin meredup. Kemajuan teknologi dan pengaksesan informasi yang mudah didapat yang seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menuangkan ide-ide cemerlang serta kritik dan saran untuk membangun masa depan Bangsa menjadi lebih baik, justru membuat mahasiswa terbuai dan mengabaikan masa depan bangsa serta lupa akan predikat “agent of social change” dan pri-kemanusiaannya yang kritis.
Saat ini, mahasiswa terjebak pada pola kehidupan dan pergaulan populer yang lebih cenderung pada obsesi keakuan dari pada kontribusi sosial. Saat ini mahasiswa hanya terfokus pada kuliah tanpa adanya sumbangsih pemikiran yang membangun. Mahasiswa sudah tidak mau tahu atau bahkan sudah tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Lingkungan sekitarnya saja sudah tidak dipedulikan, lalu bagaimana dengan bangsa ini? Oleh karena itu, tidak keliru jika mahasiswa masa kini, dinilai tidak memiliki keberanian dan kemampuan dalam menyampaikan gagasan-gagasan ke publik. Aksi demonstrasi yang dilakukan tampak hanya seremonial dan formalitas semata hanya untuk mempertahankan ciri khas mahasiswa sebagai demonstran.
Lebih parah lagi, mahasiwa saat ini terbius pleh budaya populer, di mana segala informasi langsung diterima mentah-mentah tanpa diproses dan didalami secara rasional. Kondisi ini sangat jelas terlihat diberbagai kampus dimana banyak mahasiswa yang melanggar aturan yang diterapkan serta tidak peduli dengan keberadaan pemerintah kampus seperti BEM , DEMA dan yang lainnya. Kembali ke pertanyaan awal, jika kebijakan dan kondisi dikampus saja tidak peduli bagaimana dengan kebijakan pemerintah dan kondisi bangsa di negeri ini?
Maka dari itu, mahasiswa dituntut untuk proaktif dan provokatif, mengasah sikap kritis dapat membantu mahasiswa untuk ambil bagian dari pendapat dan perubahan di lingkungannya. Sikap kritis bukan sikap yang ada sejak lahir, namun sikap yang timbul dari perubahan dan bisikan hati nurani kita kepada hal yang terjadi di sekitar, jangan hanya duduk diam dan mengamati saja. Banyak cara untuk menumbuhkan sikap kritis, contohnya mengikuti dan memasuki organisasi yang berada di kampus maupun di luar kampus agar mahasiswa dapat mengisi waktu luang dengan hal-hal yang berguna dan untuk tetap berkontributif dan berkarya, dengan berkumpul dengan orang-orang yang sepaham dan membicarakan suatu masalah dapat menjadikan kita untuk berargumen, dengan membaca dan menulis, mahasiswa dapat menumbuhkan dan menanamkan sikap kritis di hati kita. Dan untuk menjadi kritis tentunya mahasiswa harus berada di lingkungan yang kritis pula.
Tidak dapat dielakkan lagi, bahwa masa depan bangsa berada ditangan generasi muda. Mahasiswa sebagai orang terpelajar dan memiliki banyak pengalaman adalah penentu masa depan bangsa ini. Seperti yang dikatakan Anis Baswedan bahwa “Peran Mahasiswa adalah peran masa depan, Mahasiswa menjadi supplier pemimpin muda untuk Indonesia kedepan. Yang peran kekinian itu bisa naik turun tergantung jamannya tapi peran supplier terus berjalan karena Mahasiswa adalah institusi-institusi supplier stock pemimpin masa depan, karenanya dalam masa ini bangun itu kepemimpinan, kalau tidak dibangun dari sekarang kita kekurangan stok nanti.”
Oleh karena itu, mahasiswa harus kembali kepada fitrahnya yaitu “KRITIS”. Dalam konteks sekarang ini, kritits jangan hanya ditunjukkan dengan Aksi-Demonstrasi tapi melalui media massa untuk menyampaikan gagasan dan koreksi krititsnya. Kondisi saat ini membutuhkan semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa. Semangat yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kondisi yang tidak ideal. Harapan besar terhadap perubahan bangsa agar menjadi lebih baik. Pikiran dan hati yang sel
Reply
M. Arif Rohman Hakim
12/29/2013 11:03:05 pm
Menanti Langkah Besar Fakultas Dakwah
Oleh : M. Arif Rohman Hakim
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang, Mahasantri Penerima Beasiswa Tahfidz Al-Qur’an di Monash Institute
Fakultas Dakwah dan Komunikasi atau yang lebih sering disebut dengan Fakdakom, merupakan satu dari empat fakultas yang ada di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Fakdakom sendiri terletak di kampus tiga, bersebelahan dengan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam.
Berbeda dengan fakultas-fakultas lainnya, di fakdakom, mahasiswa tidak hanya selalu dituntut untuk bergelut dengan buku, melainkan terjun langsung ke lapangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya stasiun televisi dan radio di lab dakwah. Tak hanya itu, di fakdakom juga ada korda’is, sebuah organisasi intra kampus yang mengajarkan kepada anggotanya untuk dapat menyampaikan kutbah dihadapan khalayak umum.
Namun anehnya, ditengah melimpahnya fasilitas yang ada, fakdakom justru mendapatkan labeling kampus buangan. Artinya kampus yang menampung anak-anak yang gagal masuk ke fakultas maupun kampus lain. Fakdakom hanya dijadikan tumbal dan pilihan cadangan yang lain jika tidak diterima di kampus yang diharapkan. Akibatnya, fakdakom belum pernah melahirkan seorang lulusan terbaik di IAIN. Fakdakom masih sering menghuni dasar klasemen, mereka harus selalu merelakan diinjak-injak oleh fakultas lain, termasuk Ushuludin .
Bahkan, dalam suatu mata perkuliahan Bahasa Indonesia, ketika seluruh mahasiswa ditanya tentang alasan mereka masuk fakultas dakwah, hampir 75 persen mengaku terpakasa masuk ke fakdakom. Alasan mereka pun bermacam-macam, ada yang karena tidak diterima di kampus pilihannya, ada yang karena ditolak fakultas Tarbiyah, ada yang dipaksa orang tuanya dan bermacam-macam lagi.
Karena adanya rasa keterpaksaan inilah yang menjadikan fakdakom selalu dipandang sebelah mata oleh fakultas lain. Seperti ketika ORSENIK, rata-rata mahasiswa selalu menjadikan Tarbiyah dan Syari’ah sebagai tim kandidat juara, sedangkan dakwah selalu dianggap sebagai fakultas underdog, fakultas yang tidak memiliki esensi menjadi seorang juara.
Miris bukan, ditengah-tengah kemewahan fasilitas yang ada, Fakdakom seharusnya mampu menjadi kampiun dalam segala bidang. Bukan hanya mampu menyalip fakultas Syari’ah dan Tarbiyah saja, melainkan juga kesembilan fakultas dakwah dan Komunikasi yang tersebar di PTN seluruh Indonesia. Ini merupakan pekerjan rumah yang harus segera diselesaikan oleh semua masyarakat Fakdakom.
Sebagai penanggung jawab tertinggi di Fakdakom, seharusnya jajaran kepemimpinan yang tekah terstruktur di fakdakom mampu membawa perubahan yang signifikan. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin hari kualitas dan kuantitas Fakdakom semakin tergerus. Alhasil kini Fakdakom menempati urutan terbawah, tepat berada dibawah Fakultas penyesat mahasiswa, Ushuludin.
Berangkat dari sinilah, perlu adanya sebuah langkah yang harus ditempuh oleh segenap masyarakat Fakdakom untuk memajukan fakultas ini. langkah besar ini harus mampu direalisasikan sebelum kredibilitas fakdakom hilang tanpa bekas. Adanya interelasi antar penduduk Fakdakom merupakan harga mati yang pertama harus dijalin. Dengan adanya interelasi ini, nantinya masyarakat fakdakom akan mengerti masing-masing dari peran dan tanggung jawabnya sebagai warga Fakdakom.
Dengan adanya pembagian peran inilah, secara tidak langsung akan menimbulkan kesadaran diri setiap individu. Kesadaran akan keterpurukan ini nantinya akan mendorong setiap individu di Fakdakom untuk berfikir tentang masa depan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Bersama-sama, masyarakat dakwah akan melakukan sebuah perubahan besar-besaran yang diharapkan mampu membuat sebuah dunia revormasi yang baru, dimana Fakdakom merupakan pemimpin yang tunggal, tanpa ada “embel-embel” Fakultas Syari’ah, Tarbiah apalagi ushuludin. Amin. Wallahu A’lamu bi-Alshawab.
Reply
Muhammad Iqbal Aruzzi
12/29/2013 11:06:53 pm
Apatisme Mahasiswa Dalam Politik
Oleh: Muhammad Iqbal Aruzzi
Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal Asyakhsyiyah
Mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi Agent Social of Change nampaknya kini sudah tidak bisa diharapkan lagi. Pasalnya, mahasiswa kini tidak mau berfikir besar dan selalu apatis terhadap sesuatu yang berbau politik. Padahal, adanya politik pada diri mahasiswa bisa dijadikan khazanah, yang nantinya dapat membantu mahasiswa ketika sudah hidup dalam bermasyarkat.
Adanya pandangan bahwa “politik itu kotor” merupakan awal keapatisan mahasiswa, dalam hal ini ada dua jenis kategori mahasiswa yang enggan berpolitik. Pertama, mahasiswa yang tergolong tingkat kenakalanya tinggi dan prestasinya rendah, mahasiswa yang seperti ini ketika diajak untuk masuk dalam dunia politik yang ditanyakan pertama adalah “ada uangnya nggak”. Tidak adanya uang membuat mahasiswa jenis pertama ini enggan berpolitik. Hal seperti itulah yang kemudian menjadi adat atau tradisi pada mahasiswa jenis pertama dan itu menjadi ladang bagi para politisi jahat untuk meraih suara.
Kedua, mahasiswa yang tergolong tingkat kenakalanya rendah dan berprestasi, mahasiswa yang seperti ini banyak ditemukan di kampus, rata-rata mahasiswa yang jenis kedua ini merasa shok ketika diajak untuk berpolitik. Merasa takut akan terjerumus dalam politik praktis, membuat mahasiswa jenis kedua ini enggan untuk berpolitik.
Fenomena di atas sebetulnya terjadi akibat adanya kebijakan normalisasi kampus pada masa Orde Baru. Kebijakan tersebut telah memisahkan kampus dan mahasiswa dengan dunia politik, dampak jangka pajang dari kebijakan Orde Baru kini bisa kita rasakan, ketika ada partai politik masuk kampus hal itu ditolak oleh mahasiswa. Padahal seharusnya hal itu menjadi bagian dari aktivitas intelektual kampus.
Pada tingkat yang lebih teknis mahasiswa seharusnya bisa menjadikan kampus sebagai tempat untuk menguji kapasitas ataupun kredibilitas partai politik. Mahasiswa diharapkan mampu memberikan sumbang sih atas segala persoalan bangsa yang ada. Keterlibatan mahasiswa dalam politik bukan berarti menjadi perilaku politik praktis, tetapi, keterlibtanya diharapkan dapat menjadikan kampus sebagai wahana untuk menguji kapasitas atau kredibilitas partai politik.
Ada kata-kata bijak yang menyatakan “jika tiba datangnya malam, jangan mengeluhkan gelapnya, tetapi nyalakanlah pelita untuk menerangi malam itu” dapat kita ambil benang merahnya, ketika kita sudah melihat bahwa politik yang terjadi sekarang adalah politik kotor maka janganlah kita ikut mengotorinya, tetapi, buatlah kesucian dalam diri politik itu. Wallahu a`lam bi al-ashowab
Reply
Runik Rahayu
12/29/2013 11:10:15 pm
EKSISTENSI USHULUDDIN, MASIHKAH TERJAGA?
Oleh: Runik Rahayu
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Ushuluddin merupakan sarana pengembangan pendidikan berbasis nilai-nilai Islam. Kehadirannya menarik simpatik masyarakat umumnya. Terkait dengan ajaran-ajarannya yang mampu mengubah cara pandang seseorang menjadi luas dan tidak fanatik. Orientasi Ushuluddin adalah mengembangkan dan memperjuangkan Islam dengan nilai-nilainya. Dalam catatan yang telah lalu, Ushuluddin hadir di tengah masyarakat dengan keilmuannya yang khas dan mendasar. Pada saat itulah eksistensi Ushuluddin diakui.
IAIN Walisongo Semarang memiliki Fakultas Ushuluddin. Seperti yang dijelaskan diatas, pendidikan dan pengetahuan Islam menjadi prioritas fakultas ini. Karena sesuai dengan artinya, yakni Ushul yang artinya pokok atau dasar dan Addin artinya agama. Jadi Ushuluddin adalah sarana yang mengajarkan pokok-pokok agama. Agama Islam tentunya. Dan diharapkan dengan dasar-dasar tersebut semakin memperkuat tingkat keimanan seseorang. Ini juga menjadi bagian orientasi Ushuluddin
Dalam perjalanannya Ushuluddin mengalami degradasi kualitas pada anak didiknya. Hal ini terkait dengan adanya mahasiswa yang tidak mampu menerima hal-hal yang diajarkan dalam pembelajaran Ushuluddin, yang menjadikannya seakan seperti orang yang tak mengenal ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikatakan mereka meninggalkan agamanya. Hal ini jelas, tidak sesuai dengan orientasi Ushuluddin.
Ternyata hal tersebut cukup mengundang perhatian dari masyarakat. Hingga lambat laun kepercayaan masyarakat pada Ushuluddin kian luntur. Alhasil hanya sedikit dari masyarakat yang berminat untuk memasukkan anaknya di Fakultas ini. Tidak menutup kemungkinan, Fakultas Ushuluddin pun semakin tergeser dan tentu ini sangat mempengaruhi eksistensi dari Fakultas ini.
Dalam aktualisasi saat ini, apa yang dihawatirkan perihal eksistensi Fakultas Ushuluddin pun terjadi. Kabar yang ramai saat ini adalah akan di konversikannya nama perguruan tinggi, IAIN (Institut Agama Islam Negri) menjadi UIN (Universitas Islam Negri). Segala sesuatu pasti ada kontroversi, tak lepas dari perencanaan ini pasti akan memunculkan berbagai persoalan. Salah satunya adalah dampak pada Fakultas. Terutama pada Fakultas Ushuluddin. Mengapa demikian? Untuk mengubah nama IAIN menjadi UIN perFakultas paling tidak harus mencapai 1000 mahasiswa. Sedangkan mahasiswa Ushuluddin kurang dari 1000.
Pasalnya, Fakultas yang memiliki sedikit mahasiswa akan memboroskan anggaran negara. Karena biaya yang dikeluarkan negara untuk Fakultas yang mahasiswanya sedikit adalah sama dengan biaya Fakultas yang memiliki banyak mahasiswa.
Dengan demikian, (kabar yang terdengar) Ushuluddin akan di gabung dengan Fakultas lain. Yakni Ushuluddin akan digabung dengan Fakultas Dakwah (DAUS). Tentu hal ini menjadi permasalahan besar bagi masing-masing Fakultas. Ini akan mengakibatkan ke-khasan di masing-masing Fakultas hilang. Padahal perjalanan yang ditempuh pada masing-masing Fakultas adalah sedikit demi sedikit dan penuh dengan rintangan.
Kita harus menghargai sejarah, Mengingat akan sebuah hadits almukhafadhotu ‘alal qodim assholih wal akhdu bil jadid al aslah yakni menjaga hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik lagi. Nah, setidaknya itu perlu menjadi pegangan dalam rangka akan diadakannya perubahan ini. Mengubah IAIN menjadi UIN, tanpa menghapuskan sesuatu yang terdahulu. Karena menggabungkan Ushuluddin dengan Dakwah, sama saja dengan ketiadaan dari keduanya.
Reply
Muhammad Haizun Niam
12/30/2013 02:51:47 pm
Politik Sertifikat, Kebobrokan Demokrasi Mahasiswa
Oleh: Muhammad Haizun Niam
Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institut untuk IAIN Walisongo Semarang dan Aktifis GPII Jawa Tengah.
Demokrasi merupakan perihal yang tidak asing lagi untuk dibahas. Istilah yang pernah dikatakan oleh para ahli politik sebagai suatu sistem yang paling baik, kini berubah menjadi ancaman bagi publik. Banyak orang merusak sistem tersebut dengan tindakan-tindakan yang konyol. Demi mendapatkan posisi yang mapan, mereka rela merogoh kocek dalam-dalam (Money Politic). Akibatnya, ketika sudah mendapatkan posisi yang diinginkan, mereka akan melakukan tindakan korupsi. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan kocek yang telah dikeluarkan.
Tindakan tersebut merupakan wujud dari rusaknya sistem politik di tanah air. Banyak orang telah terperosok dalam lingkaran politik yang buruk. Tidak hanya dari kalangan elit politik, mahasiswa pun banyak yang terperosok. Jika para politisi menggunakan uang sebagai “iming-iming”, maka mahasiswa menggunakan “Sertifikat” untuk menggait simpati mahasiswa baru. Sekilas cara tersebut memang efektif. Dengan kepolosan mahasiswa baru, mahasiswa senior akan mudah mempengaruhinya. Namun, hal tersebut akan mengurangi kebebasan berpolitik.
Dewasa ini, politik sertifikat memang menjadi senjata ampuh bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik dalam birokrasi kampus. Pasalnya, mereka mendoktrin mahasiswa baru tentang “kedewaan” sertifikat dalam perkuliyahan. Dengan doktrin tersebut, akan menimbulkan kesalahpahaman dalam menafsirkan maksud akan pentingnya sertifikat bagi mahasiswa. Sehingga, akan menimbulkan ketergantungan terhadap sertifikat tersebut. Setiap akan melakukan aktifitas, pasti orientasinya sertifikat.
Ironisnya, politik tersebut bukan hanya digunakan untuk menarik mahasiswa baru untuk mengikuti suatu kegiatan tertentu. Namun, banyak dari birokrasi kampus yang menggunakan sertifikat tersebut sebagai alat untuk mencapai kepentingan dalam birokrasi. Misalnya sertifikat opak. Mereka mengancam bahwa mahasiswa tidak akan mendapatnya apabila tidak mengikutinya. Yang akan menyulitkan mereka dalam Ujian Monakosa nantinya. Sehingga, mahasiswa baru akan nurut dengan mereka. Tanpa memperdulikan baik-buruk orang yang diikutinya.
Keadaan tersebut, akan menyebabkan bobroknya demokrasi dalam kampus. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk meluruskan kembali pemahaman mahasiswa tentang politik. Jika hal tersebut dibiarkan secara-terus menerus, maka akan menyebabkan terlahirnya generasi buruk bagi bangsa Indonesia. Selain itu, mahasiswa akan kehilangan fungsi-fungsinya. Yakni, fungsi sebagai; agent social of cange, agent social of control and agent social of iron stock.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang segala sesuatu yang terkait tentang kampus. Dengan cara tersebut, mahasiswa baru akan lebih banyak mengetahui tentang perkampusan. Sehingga, kemungkinan untuk dipengaruhinya mereka sebab ketidaktahuan akan berkurang. Selain itu, perlu adanya sosialisasi tentang Ilmu Politik, sebab, hal tersebut akan sangat berguna bagi mahasiswa. Sangat mustahil jika sosok yang memiliki fungsi yang tersebut seperti diatas, gagap dengan politik.
Setelah semua cara tersebut di terapkan, maka cara yang selanjutnya adalah denga menanamkan moralitas terhadap mahasiswa. Hal tersebut merupakan cara yang paling penting sebagai pembekalan mahasiswa dalam politik. Sebab, politik tanpa moralitas akan rentan terhadap kejahatan. Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa, “Negara tanpa moral mereupakan keruntuhan; moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelemahan. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa, moralitas sangatlah penting. Wallahu a’lamu bi al-showab.
Reply
Adkha Bukhori
12/30/2013 05:26:51 pm
MENGHARAP PELAYANAN PRIMA KAMPUS
Oleh: Adkha Bukhori
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Ketua Lembaga Mahasiswa Peduli Pendidikan(LMPP) Semarang
Kampus merupakan sebuah tempat bagi mahasiswa untuk saling bertukar pikiran, ideologi, maupun pembelajaran. Dimana dikenal sebagai tempat untuk berdiskusi dan saling mengemukakan pendapat serta melahirkan pemikiran-pemikiran pembaharuan. Sehingga kampus menjadi tempat yang sangat diingikan bagi mahasiswa untuk berkreasi dan melahirkan inovasi terbaik bagi negeri ini. Untuk mewujudkan keinginan mahasiswa sebagai agen of change bagi masyarakat dan negeri ini dibutuhkan pula pelayanan kampus untuk menunjang keberhasilan dari mahasiswa. Baik pelayanan terkait dengan akademik, kemahasiswaan maupun sarana prasarana yang ada.
Pelayanan tak jauh dengan sistem yang terkait didalamnya. Oleh karenanya, pembenahan sistem sangat dibutuhkan demi terwujudnya pelayanan yang diharapkan. Dalam pelayanan kampus diharapkan memiliki konsep sistem yang baik dan tersistematis. Baik prosedur maupun metode sebuah sistem.
Dewasa ini, mahasiswa berharap pelayanan kampus IAIN Walisongo dapat melayani proses pelayanan dengan baik. Pelayanan yang baik sangat diperlukan dalam menunjang kinerja informasi maupun kebutuhan dari objek kampus, yakni mahasiswa, dosen, dan lainnya. Maka, perlu pembenahan agar tidak menjalar pada waktu kedepannya lebih buruk.
Menelisik permasalahan yang pelayanan yang buruk di kampus tersebut, baik pelayanan akademis, kemahasiswaan, dan sarana prasarana. Dalam pelayanan akademis, seperti halnya pembuatan KST, FRS maupu ujian yang diselenggarakan dikampus tersebut. Mengaca dari problem pelayanan secara akademis seperti keterlambatan dalam pembuatan serta distribusi yang masih kurang memuaskan dan sistematis.
Selain itu, permasalahan dalam pelayanan kemahasiswaan tak jauh berbeda dengan pelayanan akademis. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari pembuatan “Jas almamater” dan pembuatan kartu tanda mahaiswa(KTM). Dua permaslahan tersebut hanyalah salah satu contoh dari pelayanan kemahasiswaan yang kurang memuaskan. Keterlambatan dan koordinasi yang kurang baik menjadikan molornya proses pembuatan maupun pembagian jas dan KTM. Padahal keduanya merupakan tanda identitas seorang mahasiswa, bahwa mereka ialah mahasiswa IAIN Walisongo. Bahkan diperparah molornya pembagian sampai semester dua ataupun semsester depannya. Jikalau kemoloran pelayanan ini masih saja dibiarkan dari dulu, maka sampai waktu kedepannya akan sepeti itu.
Dalam pelayanan sarana-prasarana kampus sangat kurang memuaskan. Misal, dalam hal kebersihan kampus. Di buktikan dengan setiap hari daun-daun pepohonan ditaman yang tidak disapu. Bahkan air yang digunakan untuk kebersihan, seringkali tersumbat ataupun macet. Sehingga ketika ingin mencuci tangan atau lainnya merasa kesulitan. Bukan hanya itu, kran yang berada di kamar mandi pun tidak ada yang ada hanya lah sepotong batang kayu yang disumbatkan pada lubang air yang tidak ada krannya. Hal ini membuktikan pelayanan sarana di kampus kurang tanggap dan serasa lambat dalam penanganannya. Ironinya problem tersebut kurang ditangani dengan cepat dan hanya memolorkan waktu dan tidak ada aksi dari pihak pelayanan kampus.
Mengamati dari permasalahan pada pelayanan yang ada, perlu adanya perombakan sistem dan birokrasi yang ada. Sehingga permaslahan tersebut harus ada perubahan. Agar objek pelayanan tersebut merasa puas birokrasi yang ada menjadi lebih baik.
Pelayanan prima
Berharap pelayanan yang memuaskan dan baik, juga perlu diperhatikan dan diterapkan pelayanan prima dalam melaksanakannya. Pelayanan prima sebagai pelayanan yang berkualitas agar menjadi aspek ukuran sistem dan birokrasi yang menjalankannya dapat mengerjakan dengan terbaik. Oleh karenanya pelayanan tersebut, perlu diterapkan dalam sistem kampus yang mengharapkan pada pelayanan yang baik dan memuaskan.
Pelayanan prima sangat lah bermanfaat bagi sistem dan obyeknya. Salah satunya dapat memberikan pelayanan yang dapat memenuhi standar serta memuaskan obyeknya. Dalam hal ini, memuaskan civitas yang ada. Maka penerapan sistem pelayanan tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan dari pengguna kampus.
Penerapan pelayanan prima dapat diterapkan dengan beberapa aspek. Seperti aspek jasa, kondisi, maupun sikap pelayanan. Dalam aspek jasanya, birokrasi pelayanan kampus dapat memberikan jasa pelayanan yang baik. Seperti tepat waktu dalam memeberikan pelayanan, tidak menunda-nunda pelayanan, serta hasil jasa yang diberikan dapat memuaskan dan memenuhi bagi obyeknya. Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, dalam aspek kondisinya pelayanan yang diberikan harus dapat bermanfaat dan dalam kondisi yang baik. Contoh saja pelayanan sarana prasana yang ada, ketika memperbaiki ataupun membangun sesuatu perlu perawatan yang intensif dari sistem dan birokrasi untuk menjaga dan merawat dengan baik. Begitu pula dengan aspek sikapnya, dalam pelayanan prima ada sebutan “5S” yakni senyum, salam
Reply
Lanal Mauludah Zuhrotus Salamah
1/4/2014 07:23:32 am
Standardisasi Penerima Beasiswa Kampus
Oleh: Lanal Mauludah Zuhrotus Salamah
Aktivis HMI Kom. IQBAL dan Mahasiswa Tafsir Hadits Institute Agam Islam Negeri Walisongo Semarang.
Setiap tahun kucuran dana segar mengalir ke brangkas birokrasi kampus, baik dana dari pemerintah maupun swasta. Dana tersebut sebagian besar dialokasikan sebagai tunjangan beasiswa bagi para Mahasiswa berprestasi dan kurang mampu, dengan harapan dapat membantu kebutuhan finansial para mahasiswa dalam menyelesaikan studi-nya. Akan tetapi, pendistribusian dana tersebut belum mampu dilaksanakan dengan maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah mahasiswa berprestasi dan kurang mampu yang belum mendapatkan hak yang seharusnya ia terima. Bahkan, ada banyak mahasiswa yang notabene tidak berprestasi dan tergolong mahasiswa berkecukupan, justru rutin mendapatkan beasiswa dari pihak kampus.
Permasalahan pendistribusian dana beasiswa kampus semakin tahun belum kunjung menampakkan perbaikan yang signifikan. Bahkan, bisa dikatakan semakin tahun semakin menunjukkan ketidakjelasan. Hal ini bisa kita lihat dari ketidaktransparansian pihak birokrasi dalam memberikan informasi beasiswa kepada para mahasiswa. Informasi beasiswa cenderung masih berbelit-belit dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Misalnya, pada akhir bulan september lalu, semua fakultas di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang secara serentak memberikan peluang penerimaan beasiswa DIPA I untuk para mahasiswa berprestasi dan kurang mampu. Beragam prasyarat bagi calon penerima beasiswa dipampang di depan kantor adminsitrasi guna dipenuhi oleh para pendaftar beasiswa dengan segera. Singkat cerita, hampir semua mahasiswa yang merasa memenuhi kualifikasi berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri ke pihak kampus, dan tidak berselang lama pula, pengumuman para penerima beasiswa DIPA I diumumkan. Alhasil, banyak nama-nama yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi mendapatkan beasiswa. Begitupun sebaliknya, ada banyak mahasiswa berprestasi yang tidak mendapatkan haknya dengan baik.
Ketidakwajaran kasus di atas tentu membawa sebuah tanda tanya besar bagi sebagian besar mahasiswa yang gagal dalam kompetisi perebutan beasiswa tersebut. Usut punya usut, ternyata telah terjadi debat pendapat antara pihak administrasi kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, dan beberapa perwakilan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terkait dengan penentuan peneria beasiswa. Dalam debat pendapat tersebut, di satu sisi, pihak BEM, Senat dan perwakilan UKM tidak menyepakati apabila dana beasiswa DIPA I hanya dikhususkan untuk mahasiswa berprestasi dari golongan tidak mampu, mengingat ada banyak mahasiswa kurang berprestasi yang telah merelakan studinya demi menghidupkan aktivitas kampus.
Di sisi lain, pihak administrasi kampus bersikukuh bahwa mahasiswa yang layak menerima beasiswa adalah mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) min. 3,4. Hasil perdebatan panjang menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa beasiswa DIPA I akan dialokasikan untuk tiga golongan; mahasiswa berprestasi, mahasiswa kurang mampu, dan mahasiswa aktivis.
Kasus serupa juga terjadi pada pendistribusian beasiswa tahfidz, beasiswa yang dikhususkan untuk para penghafal firman Allah. Lagi dan lagi, ketidakadilan pendistribusian beasiswa terjadi kembali sebagaimana yang menimpa seorang hafidzah berinisial “SNK”. Secara kualifikasi, SNK sangat memenuhi prasyarat yang telah ditentunkan. Sebab, selain hafal 30 juz al-Qur’an, ia juga tergolong mahasiswa berprestasi dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari 3,5.
Bersamaan dengan hal ini, ada beberapa mahasiswa dengan kualitas dan jumlah hafalan yang tidak lebih bagus dari SNK justru mendapatkan beasiswa tersebut. Ironisnya, ketika SNK mencoba mengklarifikasi perihal tersebut kepada pihak kampus, tidak ada respon positif sedikit pun, bahkan pihak kampus cenderung acuh tak acuh terhadap pengaduan SNK. Akhirnya, dengan segenap kekecewaan SNK mencukupkan perjuangannya.
Standardisasi penerima beasiswa
Kasus-kasus di atas merupakan bagian kecil dari potret negatif pendidikan di IAIN Walisongo Semarang. Seharusnya, permasalahan seperti ini perlu mendapat kawalan khusus dari pihak birokrasi kampus, selaku pihak yang memiliki kewenangan dalam hal beasiswa tersebut. Pihak-pihak tersebut seharusnya mampu mengadvokasi para mahasiswa berprestasi, aktivis dan kurang mampu untuk perbaikan sumber daya manusia (SDM). Yaitu dengan melakukan advokasi berupa kebijakan-kebijakan dan solusi-solusi konkrit, agar kejadian tersebut tidak terus berlarut-larut dalam ketidakjelasan dan tidak melahirkan korban lebih banyak lagi.
Oleh sebab itu, untuk mencegah permasalahan di atas perlu ada standardisasi terhadap calon penerima beasiswa. Yaitu, dengan cara mengklasifikasikan para calon penerima beasiswa sesuai dengan kategorinya masing-masing. Misalnya; beasiswa untuk para aktivis, kualifikasinya bisa ditentukan dengan track record yang
Reply
Millatuz Zulfa
1/4/2014 11:27:59 am
Sebelum Sesudah di edit
Membongkar Proyek dibalik Konversi UIN?
Oleh: Millatuz Zulfa
SEMARANG. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang memperoleh kucuran dana pinjaman berbunga lunak senilai 28,5 juta dolar AS atau setara Rp 270,75 miliar (kurs Rp 9.500) dari Islamic Development Bank (IDB).
Dana tersebut diproyeksikan untuk membangun gedung atau fasilitas lokal baru dan laboratorium, termasuk penambahan alat-alat laboratorium menyesuaikan penambahan program studi eksak guna menyongsong konversi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dengan adanya penambahan minimal enam prodi eksak, kemungkinan besar ada penambahan satu fakultas baru. Semarang, Suara Merdeka, 26 Februari 2011
Sebagaimana yang dilansir di Suara Merdeka, dengan dana tersebut IAIN Walisongo akan melengkapi segala keperluan untuk segera menjadi UIN. Sesuai pernyataan dari rektok IAIN walisongo Prof. Dr. Muhibbin pada konversi IAIN menjadi UIN pada26 April 2011, pada akhir tahun 2013 akan segera berubah menjadi UIN, karena proposal telah dikirim, hanya menunggu pengesahan dari KEMENDIIKBUD.
Realitanya menjelang akhir tahun 2013, IAIN Walisongo belum juga menjadi UIN. Pembangunan fasilitas gedung baru yang akan digunakan untuk prodi-prodi baru belum selesaI, tidak ada kejelasan butuh waktu berapa lama agar pembangunan tersebut selesai. Tidak hanya itu, namun juga fasilitas lain, seperti pembenahan taman di fakulas Tarbiyah dan pembangunan jalan pintas dari kampus IAIN 2 menuju kampus IAIN 3 belum sepenuhnya tuntas, meskipun sebagian besar memang sudah mulai digunakan.
Tidak hanya pembangunan yang belum ada kejelasan penyelesaiannya, penambahan 9 prodi eksak seperti teknik kimia, teknik fisika, elektro dan lainnya yang merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi UIN juga belum terelasiasi. Padahal rencana untuk berubah menjadi UIN sudah berapa tahun silam, tapi hingga sekarang masih tetap IAIN Walisongo.
Proyeksi di balik konversi IAIN Walisongo menjadi UIN?
Sudah menghabiskan banyak dana guna menjadi UIN, meskipun memang pihak yang mengurusi bagian administrasi hal tersebut menyatakan bahwa dana yang digunakan sangat minim. Pihaknya akan mengurangi kebutuhan-kebutuhan yang tidak diperlukan, namun tidak dapat dipungkiri dana tersebut terbilang cukup banyak.
Untuk mengajukan proposal ke KEMENAG dan KEMENDIKBUD membutuhkan dana yang tidak sedikit, karena harus mengajukan kepusat langsung, yakni Jakarta. Selain itu uang transportasi guna membeli material pembangunan dari beberapa daerah ke Semarang juga banyak menghabiskan dana. Dari kebutuhan tersebut, nampaknya ada pihak-pihak yang kemungkinan besar memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari keuntungan. Sehigga memperlambat konversi IAIN Walisongo UIN.
Apabila memang ada proyek di balik konversi IAIN Walisongo menjadi UIN, maka dari pihak yang berwenang menangani hal ini harus segara menindaklanjuti. Diantaranya membuat badan pengawas yang mengawasi segala proses peralihan IAIN menjadi UIN. Baik dalam pembangunan gedung maupun yang lainnya. Namun dalam penentuan panitia sebagai pengawas juga harus selektif, tidak hanya formalitas belaka, tapi harus profesional dalam menjalankan tugasnya.
Agar tidak terjadi bisnis terselubung, harus adanya transparansi dalam segala hal. Sehingga siapapun mengetahui proses yang sedang dijalankan secara jelas dan bisa dipertanggung jawabkan. Serta harapan IAIN Walisongo bisa menjadi UIN bisa segara tercapai, bukan hanya janji belaka.
Proyek dibalik Konversi UIN?
Oleh: Millatuz Zulfa
SEMARANG. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang memperoleh kucuran dana pinjaman berbunga lunak senilai 28,5 juta dolar AS atau setara Rp 270,75 miliar (kurs Rp 9.500) dari Islamic Development Bank (IDB).
Dana tersebut diproyeksikan untuk membangun gedung atau fasilitas lokal baru dan laboratorium, termasuk penambahan alat-alat laboratorium menyesuaikan penambahan program studi eksak guna menyongsong konversi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dengan adanya penambahan minimal enam prodi eksak, kemungkinan besar ada penambahan satu fakultas baru. (Suara Merdeka, 26/02/2011).
Beberapa fakultas di IAIN Walisogo memang masih dilakukan pembenahan dan penambahan fasilitas di beberapa bagian, seperti pembangunan gedung baru dan renovasi taman di Fakultas Tarbiyah kampus dua, dan pembenahan lapangan di Fakultas Syari’ah. Namun proses tersebut tak kunjung selesai hingga sekarang, sehingga menghambat perubahan IAIN menjadi UIN. Padahal rektok IAIN walisongo Prof. Dr. Muhibbin menyatakan pada akhir tahun 2013 akan segera berubah menjadi UIN, karena proposal telah dikirim, hanya menunggu pengesahan dari KEMENDIIKBUD.
Tidak hanya dalam hal pembangunan gedung baru yang tak kunjung selesai. Namun penambahan prodi eksak baru seperti te
Reply
Khilyatun Nufus
1/4/2014 12:01:44 pm
Sebelum edit Sesudah edit
MAHASISWA DAN ORGANISASI KAMPUS
Oleh; Khilyatun Nufus
Organisasi merupakan satu hal yang tak bisa terpisahkan dari tiap individu. Melihat manfaat yang ditimbulkan saat maupun sesudah individu tesebut berproses dalam suatu organisasi, menjadikan organisasi sebagai suatu wadah untuk berproses dan berlatih bagi individu, tentunya untuk mengatur dan menyelesaikan suatu permasalahan dalam organisasi tersebut, sehingga menjadikannya terbiasa dalam menghadapi problematika hidup.
Selain itu, manfaat lain ialah adanya banyak jaringan yang dapat diperoleh. Karena segala urusan akan menjadi lebih mudah jika kita memilik jaringan yang dapat saling bersinergi dalam segala hal. Faktor inilah yang menjadikan organisasi memiliki peranan penting bagi individu, termasuk mahasiswa.
Dalam perguruan tinggi (kampus) pastinya terdapat banyak organisasi. Dimana mahasiswa bisa memilih organisasi tersebut sesuai keiginannya. Dan kemungkinan negatif yang muncul adalah saat mahasiswa salah dalam memilih suatu organisasi kampus. Hal inilah yang sering dialami oleh mahasiswa baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua calon mahasiswa memiliki pengalaman yang banyak tentang organisasi. Apalagi organisasi kampus yamg pastinya berbeda dengan organisasi di sekolah-sekolah.
Perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi sekolah terletak pada masuknya politik dalam keorganisasian kampus. Inilah yang menjadikan organisasi kampus menjadi semakin ruwet, baik bagi mahasiswa baru maupun lama yang kurang berpengalaman dalam hal organisasi khususnya.
Kebanyakan mahasiswa baru mengikuti organisasi yang diinstruksikan oleh senior mereka di sekolah sebelumnya atau yang lebih mereka kenal. Atau mungkin juga karena pengaruh dari berbagai pihak yang bermaksud mengajak mahasiswa baru untuk bergabung ke dalam organisasinya. Kesempatan yang tak pernah dilewatkan oleh pihak tersebut adalah saat-saat penerimaan mahasiswa baru mulai dibuka. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kader sebanyak-banyaknya. Berbagai tipu daya pun mulai dimainkan oleh pihak-pihak yang menyukai kecurangan. Organisasi yang digeluti oleh pihak sepertilah yang memiliki bahaya besar bagi keberlangsungan organisasi. Apalagi jika banyak mahasiswa baru yang ikut bergabung ke dalamnya.
Berbicara tentang organisasi, pastinya terdapat dampak positif dan negatif dari adanya suatu organisasi. Dampak positif seperti yang telah dijelaskan diawal. Adapun dampak negatifnya bisa dilihat dari para kader dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi tesebut, serta keuntungan apa yang bisa diperoleh dari kesemuanya.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi kampus, lebih banyak menimbulkan efek kesenangan semu dari pada efek akademisnya. Sedangkan sebagai mahasiswa kita dituntut untuk mengutamakan nilai-nilai akademis dalam segala hal. Misalnya saja, kegiatan malam keakraban atau yang biasa disebut dengan makrab. Agenda yang terkandung di dalamnya adalah kebanyakan hanya permainan-permainan yang tidak seharusnya seorang mahasiswa melakukan kegiatan tersebut, sehingga membuang waktu dan tenaga. Akankah lebih baik jika agenda seperti itu tidak dicantumkan dalam suatu kegiatan organisasi mahasiswa.
Dan bahkan, kegiatan yang dipadang memiliki nilai positif pun terkadang dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai tujuan awal. Misalnya saja, kegiatan diskusi yang mungkin diadakan rutin oleh organisasi. Yang jika dilihat dari sisi efek akademisnya tidak sepenuhnya sesuai. Entah faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah para kader dari organisasi itu sendiri atau pun faktor luar yang lain. Atau bahkan proses diskusi itu sendiri yang tidak sesuai dengan tujuan awal diadakannya diskusi.
Sebagai seorang mahasiswa, kita harus bisa memilih serta memilah mana organisasi yang memiliki sinergi dan berdampak positif bagi diri sendiri. Sehingga tidak akan membuang-buang waktu dan energi jika kita berproses di dalamnya. Namun, untuk memilihnya pun bukan hal yang mudah. karena adanya faktir-faktor yang mungkin sudah umum dialami oleh mahasiswa. Kurangnya pengalaman, adanya bujukan dari pihak lain, sekedar ikut-ikutan dan lain sebagainya, mungkin dapat menjadi faktor.
MAHASISWA DAN ORGANISASI KAMPUS
Oleh; Khilyatun Nufus
Organisasi merupakan sebuah hal yang tidak bisa dipisahkan dari mahasiswa. Mahasiswa yang bergelut dalam sebuah organisasi, nantinya akan “digembleng” menjadi individu yang berpengaruh di masyarakat. Selain itu, di dalam sebuah organisasi mahasiswa juga akan memperoleh banyak jaringan. Secara tidak langsung, jaringan ini akan memaksa mahasiswa untuk melakukan sinergi dalam memecahkan berbagai permasalahan.
Banyak organisasi mahasiswa yang tersebar di berbagai perguruan tinggi, baik intra maupun ekstra. Di IAIN Walisongo, organisasi intra maupun ekstra ini terwujud dalam HMI, DEMA, BEM, HMJ, IMM dan PMII. Mahasiswa bisa memilih organisasi tersebut sesuai keinginan dan kemampuan yang dimiliki.
Ibarat sekeping ma
Reply
Luluk Munawaroh
1/4/2014 12:23:05 pm
Degradasi kualitas Mahasiswa IAIN Walisongo
Oleh: Luluk Munawaroh*
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
. Dewasa ini, kaum intelektual minoritas yaitu mahasiswa, kerap mengalami degradasi intelektual. Mereka seakan kehilangan arah dan tujuan. Terlebih mahasiswa di IAIN Walisongo, banyak mahasiswa yang mengalami stagnanisasi intelektual. Hal ini bisa dilihat dari presentase mahasiswa berkualitas di IAIN yang semakin berkurang. Indikator lain dapat dilihat dari minimnya ghirroh mahasiswa IAIN untuk membaca. Akibatnya, banyak mahasiswa yang tidak bisa menulis. Padahal, haram hukumnya mahasiswa tidak bisa menulis.
Tidak hanya itu, nampaknya sikap apatis juga sudah mendarah daging dalam diri mahasiswa IAIN. Sikap ini menjadikan mahasiswa acuh terhadap kajian-kajian intelektual, yang mengakibatnya mereka jatuh dalam lembah kebodohan. Padahal, dari pihak kampus IAIN Walisongo sudah menyediakan fasilitas yang memadai agar mahasiswa lebih mudah dalam meningkatkan kualitas diri. Seperti halnya perpustakaan, laboratorium, dan area free wifi disetiap sudut kampus.
Salah satu kesalahan fatal dari mahasiswa IAIN Walisongo adalah menyalahgunakan fasilitas free wifi dari kampus. Kebanyakan dari mereka tidak memaksimalkan fasilitas tersebut untuk menambah khasanah intelektual. Tapi, malah digunakan untuk browsing hal-hal yang tidak terlalu penting, misal; download lagu, video, dan yang paling kerap dilakukan mahasiswa IAIN adalah mengoprasikan akun facebook dan twitter. Seperti tanpa dosa, kebayakan mahasiswa semakin menggandrungi aktivitas tersebut.
Padahal, dengan dengan fasisiltas free wifi tersebut akan mempermudah mahasiswa IAIN untuk belajar. Apalagi bila mahasiswa benar-benar bisa memanfatkan dengan baik, tentu akan memberi dampak positif. Mahasiswa bisa memperoleh informasi secara mudah dari berbagai belahan dunia. Yang dengan informasi tersebut, secara berlahan khasanah intelektual mahasiswa akan semakin bertambah.
Namun, melihat realita yang ada, banyak diantara mahasiswa IAIN yang belum sadar dengan posisinya, sebagai kaum intelektual. Mayoritas mahasiswa IAIN mudah tergiur oleh godaan-godaan yang hanya berupa kesenangan semu. Nambaknya, kualitas mahasiswa IAIN semakin hari semakin menurun, Sudah saatnya mahasiswa bangkit dari kesadaran palsu. Kesadaran yang tidak diimbangi tindakan konkrit, sama saja hasilnya nol besar. Dengan kesadaran tersebut, mahasiswa IAIN dituntut untuk menghidupkan sosok kaum intelektual yang sesunguhnya. Yaitu sosok yang haus akan karya-karya intelektual, dan berusaha memberi kontribusi konkrit untuk menyejahterakan masyarakat. Telebih, dengan fasilitas dari kampus yang sudah memadai, tentunya akan mempermudah mahasiswa untuk meningkatkan kualitas intelektual.
Dan jangan menjadikan fasilitas berupa kecanggihan teknologi sebagai tujuan akhir dalam mengkaji khasanah intelektual. Tapi, jadikanlah kecanggihan teknologi tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri. Jangan sampai pula mahasiswa dikendalikan teknologi, tapi justru mahasiswa yang harus mengendalikan teknologi. Agar bisa memanfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Reply
Niswatul Khoiroh
1/4/2014 12:03:46 pm
Formalitas Status Mahasiswa
Oleh: Niswatul Khoiroh
Mahasiswa bukanlah hanya sekedar metamorfosa dari putih abu-abu menuju “bebas berbusana” dalam artian tidak lagi menggunakan seragam keseharian seperti pada masa di SMA. Secara sederhana mahasiswa adalah seorang yang sudah terdaftar atau terikat dengan suatu lembaga perguruan tinggi semacam Institute atau Universitas.
Seseorang yang telah resmi menjadi mahasiswa, ia akan dibebani dengan tiga pokok peranan mahasiswa yang ber- implikasi terhadap masyarakat se-Indonesia. Yaitu, mahasiswa sebagai agen social of change, agen social of control, agen social of iron. Dengan ketiga peranan tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah harapan bangsa untuk kemakmuran rakyat Indonesia, orang-orang biasa menyebut mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat.
Dalam suatu ruang lingkup yang lebih sempit, di IAIN Walisongo Semarang misalnya, ternyata masih ada 75% dari mahasiswa yang kurang tahu atau bahkan tidak mengerti tentang peranan mahasiswa itu sendiri, terlebih untuk mahasiswa baru, mayoritas dari mereka masih terbawa dengan kebiasannya sewaktu di SMA. Seperti,mahasiswa masih suka bergurau tentang suatu hal yang tidak penting di dalam kelas, terbiasa “slengean” jika ada teman yang lain menyampaikan pendapat.
Menyalurkan aspirasi rakyat, diskusi, seminar, ber-organisasi, itu adalah sebagian kegiatan mahasiswa yang memang harus diapresasikan dan tentu berbeda dengan aktivitaspada waktu di SMA, untuk menunjang wawasan, menambah pengalaman, menambah pengetahuan, bertukar pendapat, serta mencari solusi bersama. Namun, kebanyakan dari mahasiswa baru masih belum bisa mengkondisikan posisi mereka dengan situasi yang ada, contohnya saja padakegiatan diskusi, mungkin memang belum banyak yang mengerti bagaimana aturan main dalam berdiskusi yang sopan. Tidak banyak yang urun suara atau sekedar bertanya dan menyumbangkan sedikit argumen, malah terkadang terkesan hanya bermain-main, lalu menanyakan sesuatu yang tidak penting, bahkan tidak ada kaitannya dengan apa yang di diskusikan. Dengan begitu tentu waktu hanya akanterbuang sia-sia, tidak ada sesuatu hal baru yang didapat sehingga dapat menjadi bahan diskusi kembali.
Di sisi lain mahasiswa juga identik dengan sebuah organisasi, dimana mahasiswa akan menjadi seorang aktivis yang lebih diperhitungkan, dari pada mahasiswa biasa lainnya yang hanya 3K (kuliah, kost, kakus), karena keaktifan seseorang itu, sudah menunjukkan kepedulian orang tersebut terhadap lingkungan di sekitarnya. Namun, lagi-lagi yag terjadi, kebanyakan belum memahami arti pentingnya organisasi, padahal organisasi juga sebagai jaringan yang memudahkan seseorang untuk bersinergi dengan yang lainnya, karena untuk mencapai tujuan yang besar tidak mungkin dilakukan secara individual.
Organisasi seperti HMI, PMII, KAMI, dan yang lainnya sebenarnya sama secara aplikasi, semua mengajarkan langkah positive menuju kemajuan, organisasi sebagai ajang latihan kader yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa, akan tetapi masih banyak yang menganggap bahwa organisasi itu tidak penting, hanya membuang-buang waktu, banyak yang lebih berguna. Paradigma seperti itulah yang seharusnya perlu untuk di luruskan. Dan bahkan ada yang sama sekali tidak peduli, entah ada organisasi ataupun tidak itu sama saja.
Contoh lainnya seperti menyalurkan aspirasi rakyat, aksidamai seperti itu masih dipandang negative oleh masyarakat, karena seringkali mahasiswa lebih anarkis dari yang direncanakan. Namun, terkadang tindakan seperti itu juga diperlukan, untuk memprotes tindakan pejabat negara yang tidak sesuai dengan etika dan undang-undang. Akan tetapi, terkadang aksi damai yang dilakukan hanya dibuat sebagai ajang kepopuleran, bahkan ada yang hanya sekedar membuat sensasi. Membanggakan dirinya dengan status mahasiswa, beberapa kali menunjukkan bahwa mahasiswa adalah pemberani, akan tetapi tentusangat disayangkan, jika perjuangan mereka hanya sebatas itu. Mendendangkan lagu demonstrasi kesana kemari namun tidak ada tindak lanjutnya untuk membenahi, menuntut keadilan namun tidak bisa memberikan keadilan, sama halnya dengan para guru yang menuntut kenaikan gaji namun tak ada prestasi, akhirnya semua kehilangan keseimbangan, dan tentu terjadi ketimpangan sosial.
Di sinilah masih banyak terlihat bahwa status mahasiswa hanya sebagai formalitas, ada yang mengabaikan peranan mahasiswa sendiri, dan ada pula yang memerankan perannya namun hanya sebagai formalitas status yang disandang. Seperti itulah konsep berfikir yang harus diluruskan, supaya tidak menjadi karakter yang mendarah daging pada setiap diri rakyat Indonesia. Waallahu a’lam bil as shawab.
Reply
Khilyatun Nufus
1/4/2014 12:27:47 pm
MAHASISWA DAN ORGANISASI KAMPUS
Oleh; Khilyatun Nufus
Penerima Beasiswa Tahfidz Qur’an di Monash Institute Semarang, Penerima Beasiswa Bidikmisi 2013 IAIN Walisongo Semarang
Organisasi merupakan sebuah hal yang tidak bisa dipisahkan dari mahasiswa. Mahasiswa yang bergelut dalam sebuah organisasi, nantinya akan “digembleng” menjadi individu yang berpengaruh di masyarakat. Selain itu, di dalam sebuah organisasi mahasiswa juga akan memperoleh banyak jaringan. Secara tidak langsung, jaringan ini akan memaksa mahasiswa untuk melakukan sinergi dalam memecahkan berbagai permasalahan.
Banyak organisasi mahasiswa yang tersebar di berbagai perguruan tinggi, baik intra maupun ekstra. Di IAIN Walisongo, organisasi intra maupun ekstra ini terwujud dalam HMI, DEMA, BEM, HMJ, IMM dan PMII. Mahasiswa bisa memilih organisasi tersebut sesuai keinginan dan kemampuan yang dimiliki.
Ibarat sekeping mata uang, selain memiliki dampak positif, organisasi kampus juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan dari keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi kampus adalah sebuah dilema. Dilema ini menempatkan mahasiswa pada dua pilihan, antara akademis dan organisatoris.
Selain sebagai aktivis, mahasiswa juga sebagai insan akademis yang harus meningkatkan intelektual pada diri masing-masing. Namun, tidak sedikit mahasiswa IAIN Walisongo yang meninggalkan mata kuliah demi kegiatan organisasi. Inilah salah satu bentuk dilema pada aktifis mahasiswa IAIN.
Dampak lain ialah adanya prejudice (angggapan organisasinya paling baik, unggul dan benar) dari masing-masing kader organisasi kampus. Adanya anggapan ini tidak semata-mata tumbuh dengan sendirinya. Namun, adanya pihak-pihak provokator menjadi salah satu faktor umum munculnya prejudice. Akibatnya, muncul rasa saling merendahkan antarsesama mahasiswa.
Padahal, kemajuan dapat terwujud dengan terjalinnya toleransi dan sinergi antar mahasiswa dan organisasi kampus. Namun, yang terjadi di IAIN malah sebaliknya.
Dari segi lain, jenis dan efek kegiatan organisasi kampus pun tidak seutuhnya berdampak positif. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi kampus, lebih banyak menimbulkan efek kesenangan semu dari pada efek akademisnya.
Sedangkan sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk mengutamakan nilai-nilai akademis dalam segala hal. Misalnya saja, kegiatan malam keakraban atau yang biasa disebut dengan makrab. Agenda yang terkandung di dalamnya adalah kebanyakan hanya permainan yang tidak seharusnya mahasiswa melakukan kegiatan tersebut, sehingga membuang waktu dan tenaga.
Bahkan, kegiatan yang dipadang memiliki nilai positif pun terkadang dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai tujuan awal. Misalnya saja, kegiatan diskusi yang mungkin diadakan rutin oleh mahasiswa. Yang jika dilihat dari sisi efek akademisnya tidak sepenuhnya sesuai. Entah faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah para kader dari organisasi itu sendiri atau pun faktor luar yang lain. Atau bahkan proses diskusi itu sendiri yang tidak sesuai dengan tujuan awal diadakannya diskusi.
Sebagai seorang mahasiswa, sudah selayaknya kita harus bisa memilih serta memilah organisasi dan kegiatan yang memiliki sinergi dan berdampak positif. Sehingga tidak akan membuang-buang waktu dan energi jika kita berproses di dalamnya.
Reply
Aulia rahma
1/4/2014 04:03:31 pm
Disfungsi Wi-fi Kampus
Oleh: Aulia Rahma
Pegiat di Monash School of Politic and Leadership dan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Saat ini perkembangan teknologi internet sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat kelas atas hingga masyarakat kelas bawah. Internet telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat saat ini. Terutama teknologi internet sangat marak di kalangan kaum akademis. Mereka lebih di mudahkan lagi dengan adanya fasilitas jaringan Wi-Fi (Wireless Fidelity), yang mana fasilitas ini banyak di gunakan di berbagai universitas yang tersebar di seluruh dunia.
Sebagai fasilitas gratis yang dapat menunjang pendidikan, maka tidak sedikit mahasiswa menghabiskan waktunya untuk berburu Wi-Fi. Dengan akses internet melalui jaringan Wi-Fi, mahasiswa dapat dengan mudah mencari informasi apapun tanpa harus banyak mengeluarkan biaya. Apalagi bagi sebagian besar mahasiswa saat ini, laptop bukan lagi menjadi barang yang mahal.
Namun pada kenyataannya, ditemukan fakta bahwa ada oknum-oknum mahasiswa yang tidak menggunakan fasilitas itu dengan semestinya. Mereka semstinya memburu fasilitas Wi-Fi bukan untuk menunjang pendidikan mereka agar menjadi lebih baik. Akan tetapi itu merupakan kesempatan mereka untuk mendapatkan informasi-informasi yang sebenarnya berdampak negative bagi mereka. Bisa dilihat di kampus IAIN Walisongo yang juga menyediakan fasilitas Wi-Fi untuk para mahasiswanya. Yang mana para mahasiswanya menggunakan fasilitas Wi-Fi dengan semaunya sendiri tanpa memandang kebutuhan yang sebenarnya mereka butuhkan.
Seperti di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah pun menyediakan fasilitas Wi-Fi hampir di semua penjuru yang ada lingkungan kampus. Dimanapun mahasiswanya duduk, disitu pula mereka langsung dapat mengakses internet dengan mudah dan cepat. Bahkan di lingkungan bawah masjid sekalipun, yang memang tempatnya tepat di depan perpustakaan FITK. Bisa dikatakan setiap hari tempat tersebut sangat penuh sesak dengan aktivitas mahasiswa tersebut. Bahkan di hari liburpun. Tapi banyak diantara mereka yang menggunakan fasilitas Wi-Fi yang tersedia hanya untuk bermain-main saja. Mereka tidak mengerjakan tugas kampus melainkan hanya mengakses hal-hal yang tidak penting. Tetapi mereka hanya memenuhi tempat yang sangat menggangu mahasiswa lainnya yang akan menuju masjid.
Tidak hanya itu, fasilitas Wi-Fi yang fungsi sebenarnya memudahkan mahasiswa dalam mencari informasi dengan mudah tetapi hanya dijadikan modus semata bagi para mahasiswa. Dibalik alasan mereka pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kuliah dengan menggunakan fasilitas Wi-Fi, tetapi mereka juga memanfaatkannya untuk berdua-duaan. Seperti di perpustakaan Institut yang memang banyak para mahasiswa mengakses internet di perpustakaan tersebut. Bahkan sampai-sampai mereka duduk di emperan sekitar perpustakaan dengan berdua-duaan. Lebih ironisnya lagi disaat hari libur atau bahkan malam hari. Yang memang di lingkungan sekitar perpustakaan terdapat beberapa pasang mahasiswa yang duduk berduaan lawan jenis. Lagi-lagi mereka mamanfaatkan kesempatan seperti ini dibalik alasan mengerjakan tugas kuliah.
Untuk itu pihak kampus sebaiknya memberi teguran berupa peringatan atau sebagainya mengenai hal tersebut. Karena jika tidak ada teguran sama sekali maka mereka akan lebih sering datang ke kampus pada selain jam kampus untuk memburu Wi-Fi. Dan agar tidak memperburuk situasi pihak kampus juga sebaiknya menutup situs-situs yang tidak dapat meningkatkan kualitas mahasiswanya, tetapi malah semakin merusak cara berpikir dan moral mahasiswanya.
Reply
Mufidatun Ni'mah
1/4/2014 05:46:12 pm
OVERFANATISME ORGANISASI
Oleh; Mufidatun Ni’mah
Penulis adalah mahasiswa IAIN fakultas Dakwah dan komunikasi
Banyak perkampusan di Indonesia yang sering kali membicarakan Setelah diedit
tentang organisasi.Antara organisasi satu dengan organisasi lain pasti mempunyai banyak perbedaan menonjol yang bisa menimbulkan konflik. Masing masing organisasi mempunyai ambisi dan misi yang berbeda sehingga para aktivis saling memeperunggulkan organisasinya dan kebanyakan ingin menguasai kampus
Tak lain adalah IAIN (sebuah institute Agama Islam Negeri ) yang bertempat di kota Semarang. Institute yang terdiri dari dari tiga kampus ini tidak jauh berbeda dengan kampus kampus lain, para mahasiswa banyak yang menggeluti dunia organisai. AdaBanyak organisasi di kampus ini 5 diantaranya yaitu HMI,KAMI,PMII,IMM,dan GMNI.
Eksistensi organisasi organisasi ini(HMI,KAMI,PMII dan GMNI) tidak begitu menonjol dibanding organisasi PMII.
Organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) didirikan pada tanggal 17 April 1960.Mahasiswa IAIN banyak yang masuk diorganisai PMII, hampir keseluruhan dari mereka adalah orang orang yang beridentitas NU dan banyak diantaranya berasal dari desa sehingga pemikiran mereka masih fanatik, hanya terpaku pada satu titik yaitu Nahdatul ulama’ mereka tidak mau bercampurbaur dengan organisai manapun.Organisasi ini lebih menutup diri daripada terbuka lebar dan bekerjasama dengan organisasi lain, Hal ini bisa diebut overfanatisme, karena organisasi inilah yang menguasai kampus berstatus islam .Menurut penelitian, para anggota PMII selalu memprofokatori mahasiswa baru untuk masuk organisasi berlogo kuning itu.Karena PMII yang mempunyai kuasa atas kampus sehingga saat ada kegiatan kampus tidak jarang melibatkan organisasi yang terdiri dari banyak kader tersebut.Tidak mengherankan saat moment OPAK ,mereka berbondong bondong untuk merekrut banyak mahasiswa baru dan mendoktrin buruk tentang organisasi lain yang ada di kampus. ,bagi mahasiswa baru yang masih polos dan belum tahu apapun mengenai politik kampus, ia hanya menuruti ajakan teman atau senior tanpa berfikir tentang kelanjutan setelah masuk diorganisasi tersebut.Sekitar dua minggu yang lalu fakultas dakwah dan komunikasi mengadakan pemilwa.Banyak dari anggota PMII yang mencalonkan diri untuk menjadi pengurus dalam kampus,seperti DEMA, HMJ dan BEM, yang pada tahun tahun sebelumnya kepengurusan kampus dipegang oleh PMII. Mereka tidak ingin kepengrusan jatuh pada organisai lain HMI contohnya. Ada beberapa kader HMI fakultas Dakwah , memberanikan diri untuk mencalonkan sebagai ketua dari masing masing masing legislatif tapi hasilnya nihil. Mereka hanya mendapatkan sedikit suara tidak lebih dari 50 dan parahnya lagi kader HMI ada yang hanya mendapat 2 suara.Jelas bahwaPemilwa dimenangkan oleh organisai PMII. Karena banyak Mahasiswa yang mendukung dan salah satu trik mereka untuk menarik perhatian mahasiswa adalah dengan memberikan sertifikat’’partai’’.Bagimahasiwa yang gila sertifikat kususnya mahasiswa baru bisa terluluhkan oleh iming iming selembar kertas yang belum jelas sertifikat apa dan untuk apa.Banyak dari Mereka ditawari sertifikat terebut dengan syarat harus mencoblos dan mendukung calon legislatif dari PMII.Yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk overfanatisme organisasi.Sudah seharusnya dalam berorganisasi kita berhak bersuara sesuai hati nurani kita tanpa memberi embel-embel paksaan.
Reply
Widyawati
1/4/2014 06:01:39 pm
Menghapus “Stereotipe Rendah” Mahasiswa IAIN
Oleh: Widyawati
Penerima beasiswa unggulan di Monash Institut, mahasiswa fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang
Seperti yang kita tahu, peminat perguruan tinggi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dikarenakan, banyaknya calon mahasiswa yang gagal dalam mengikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa baru pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, persaingan ketat antar calon mahasiswa pun tidak dapat dihindari.
Akan tetapi, hal tersebut tidak lagi menjadi pokok permasalahan yang signifikan bagi para calon mahasiswa. Sebab dalam dunia pendidikan, hal itu sudah lazim terjadi. Banyak dari mereka (calon mahasiswa) yang mengikuti program bimbel. Sebagian dari mereka pun beranggapan bahwa usaha apapun akan ditempuh. Bahkan tidak tabu lagi ketika terdengar kabar tak sedap bahwa seorang mahasiswa lolos seleksi akibat terlibat kasus suap menyuap. Hal ini bisa disebut sebagai salah satu praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang jika dibiarkan terus-menerus akan berkelanjutan menjadi suatu wabah budaya yang disebut bad culture (budaya yang buruk). Tentunya hal ini dapat menurunkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia.
Dalam hal ini, salah satu dampak dari persaingan ketat antar calon mahasiswa baru itu adalah banyaknya calon mahasiswa yang gagal seleksi masuk perguruan tinggi. Hal ini juga berdampak pada keadaan psikologis mahasiswa, khususnya dalam menentukan pilihan perguruan tinggi selanjutnya. Ini terjadi karena sebagai opsi lain. Yaitu dengan dalih memburu perguruan tinggi yang sekiranya dapat dituju, sebagai pilihan alternatif.
Anggapan yang seperti itu lalu memunculkan image tersendiri bagi perguruan tinggi yang bersangkutan. Yakni kesan bahwa perguruan tinggi itu hanyalah abal-abalan, karena menjadi tujuan terakhir mahasiswa yang gagal tes seleksi pertama.
Misalnya saja yang dekat dengan lingkungan kita, yaitu anggapan orang-orang luar yang tak bertanggungjawab bahwa IAIN Walisongo adalah kampus tujuan terakhir bagi mahasiswa. Memang sebagian mahasiswa tidak menyangkal akan pernyataan yang seperti itu. Bahkan banyak tudingan-tudingan yang semakin menurunkan image IAIN Walisongo sebagai kampus Islam di Semarang ini. Seperti halnya adalah anggapan-anggapan tak mengenakkan mengenai bakal lulusan kampus tersebut.
Memang sangatlah ironis, ketika orientasi dari kampus agak sedikit termarginalkan. Hal tersebut, karena telah meluasnya “stereotipe rendah” oleh sebagian masyarakat mengenai kampus itu sendiri. Maka dari itu, pentingnya mengembalikan kejayaan IAIN Walisongo sebagai salah satu perguruan tinggi Islam di Semarang sangatlah diperlukan.
Dalam rangka mengatasi hal tersebut, banyak upaya yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah merealisasikan perubahan IAIN menjadi UIN. Kabar mengenai perubahan yang sampai sekarang ini belum terlaksana itu seharusnya secepatnya ditindaklanjuti. Hal ini berpengaruh besar terhadap kualitas IAIN sebagai perguruan tinggi negeri. Karena memang perubahan IAIN menjadi UIN tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, diperlukan upaya-upaya perbaikan baik dari segi kurikulum, keadaan kampus, dan masih banyak lagi pertimbangan yang diperlukan.
Pembenahan kurikulum menjadi yang lebih baik ini sangatlah penting, mengingat pernyataan bahwa “kualitas mahasiswa yang baik adalah cerminan kurikulum yang baik pula.” Alasannya cukup masuk akal karena kurikulum adalah salah satu penentu keberhasilan mahasiswa. Sehingga, anggapan-anggapan yang kurang mengenakkan mengenai kampus IAIN ini dapat disangkal dengan adanya keberhasilan mahasiswanya. Misalnya adalah penngoptimalan tujuan kampus sebagai perguruan tinggi Islam yang mencetak generasi muda yang kental dengan budaya agamanya. Sehingga, segala tindak tanduknya berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan itulah spesifik perguruan tinggi Islam, khususnya kampus IAIN jika dibandingkan dengan perguruan tinggi umum lainnya. Serta keadaan kampus yang kondusif dan mendukung adalah upaya lain dalam mengembalikan nama baik kampus IAIN.
Selain itu, dalam mengupayakan penghapusan stereotipe rendah mengenai kampus IAIN, perlu adanya dukungan dari mahasiswa setempat. Mengapa demikian? Hal ini karena peran mahasiswa sangat dibutuhkan. Mahasiswa yang mampu menciptakan kesan baik ketika terjun langsung di lingkungan masyarakat, akan memunculkan image yang baik pula terhadap tempat ia berinteraksi. Salah satunya yaitu kampus tempat dimana ia menuntut ilmu.
Dengan demikian, penghapusan stereotipe rendah terhadap mahasiswa IAIN sebenarnya dapat diupayakan. Yaitu dengan kebijakan-kebijakan yang efektif dan dukungan dari seluruh masyarakat kampus. Hal ini juga akan memberikan pengaruh positif mengenai anggapan bahwa kampus IAIN adalah kampus tujuan terakhir.
Reply
Leave a Reply.
Author
Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.