LAILAH AL-QADAR, ANTARA HISAB DAN RU’YAH
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Malam Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan, sekaligus menjadi malam paling spesial di antara malam-malam lainnya. Sebab, malam ini hanya datang sekali, yakni pada bulan ramadhan saja. Tak hanya itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa malam lailatul qadar merupakan malam yang lebih baik daripada pada malam seribu bulan. Sehingga, Lailatul Qadar sangat dinantikan kedatangannya oleh umat Islam sedunia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah menerangkan bahwa Nabi Muhammad meningkatkan ibadahnya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam-malam itulah, disinyalir malam Lailatul Qadar datang.
Jika ditilik lebih mendalam, Penentuan jatuhnya bulan suci ramadhan ternyata tak hanya mengundang banyak reaksi dari berbagai Ormas Islam dalam penentuan awal puasa saja. Namun, Selain menimbukan perbedaan awal puasa, penentuan awal ramadhan nampaknya juga dapat mempengaruhi eksistensi datangnya malam Lailatul Qadar.
Melihat perbedaan cara dalam menetapkan awal bulan Ramadhan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ORMAS), sebenarnya bisa dijadikan sebagai benang pemersatu antar Ormas yang ada di negeri ini, namun nampaknya hal itu tidak pernah disadari oleh salah satu dari mereka.
Dapat diketahui bersama, salah satu contohnya yaitu Ormas Muhamadiyyah yang terkenal dengan metode hisab yang digunakan sebagai acuan penetapan awal bulan Ramadhan, yakni setiap hitungan ketinggian hilal memasuki lebih dari 0’ (Nol derajad) derajat, maka ketentuan ormas tersebut sudah menggap sebagai munculnya bulan baru. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal dengan metode Rukyah, mereka menggap bahwa sebelum ketinggian hilalnya mencapai 2’ (Dua derajad) maka belum bisa anggap sebagai tanda “munculnya” hilal. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya bentuk penyelarasan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Sebab kita ketahui bersama bahwa, indonesia merupakan wujud dari negara kepulauan, hal ini juga mengakibatkan perbedaan waktu antara daerah satu dengan daerah yang lain. Logika sederhananya, jika dimisalkan daerah Timur Indonesia sudah berhasil mencapai ukuran hilal dengan ketinggian lebih dari dua derajad, maka hal ini belum bisa dijadikan acuan bahwasannya daerah bagian Barat Indonesia ketinggian hilalnya sama dengan bagian Timur.
Adapun malam Lailatul Qadar pada dasarnya hanya terjadi satu kali dalam setahun, yaitu salah satu malam ganjilnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, entah itu malam ganjilnya Nahdlatul Ulama’, Muhamadiyah, atau ormas yang lain. Jadi hendaklah mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di semua malam sepuluh hari terakhirnya bulan Ramadhan. Sebab, siapa tahu malam Lailatul Qadar jatuh pada malam ganjilnya orag muhamadiyah, dan siapa tahu jatuh pada saat malam ganjilnya orang nahdlatul ulama. Namun perlu diingat bahwa, dalam hadist tersebut mengandung hikmah yang perlu kita ambil pelajarannya, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiqul khoirot). Wallahu a’alam bi al-shawab.
Mahasiswa Kependidikan Islam dan Pegiat Monash of Jurnalistik IAIN Walisongo Semarang
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Malam Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan, sekaligus menjadi malam paling spesial di antara malam-malam lainnya. Sebab, malam ini hanya datang sekali, yakni pada bulan ramadhan saja. Tak hanya itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa malam lailatul qadar merupakan malam yang lebih baik daripada pada malam seribu bulan. Sehingga, Lailatul Qadar sangat dinantikan kedatangannya oleh umat Islam sedunia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah menerangkan bahwa Nabi Muhammad meningkatkan ibadahnya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam-malam itulah, disinyalir malam Lailatul Qadar datang.
Jika ditilik lebih mendalam, Penentuan jatuhnya bulan suci ramadhan ternyata tak hanya mengundang banyak reaksi dari berbagai Ormas Islam dalam penentuan awal puasa saja. Namun, Selain menimbukan perbedaan awal puasa, penentuan awal ramadhan nampaknya juga dapat mempengaruhi eksistensi datangnya malam Lailatul Qadar.
Melihat perbedaan cara dalam menetapkan awal bulan Ramadhan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ORMAS), sebenarnya bisa dijadikan sebagai benang pemersatu antar Ormas yang ada di negeri ini, namun nampaknya hal itu tidak pernah disadari oleh salah satu dari mereka.
Dapat diketahui bersama, salah satu contohnya yaitu Ormas Muhamadiyyah yang terkenal dengan metode hisab yang digunakan sebagai acuan penetapan awal bulan Ramadhan, yakni setiap hitungan ketinggian hilal memasuki lebih dari 0’ (Nol derajad) derajat, maka ketentuan ormas tersebut sudah menggap sebagai munculnya bulan baru. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal dengan metode Rukyah, mereka menggap bahwa sebelum ketinggian hilalnya mencapai 2’ (Dua derajad) maka belum bisa anggap sebagai tanda “munculnya” hilal. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya bentuk penyelarasan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Sebab kita ketahui bersama bahwa, indonesia merupakan wujud dari negara kepulauan, hal ini juga mengakibatkan perbedaan waktu antara daerah satu dengan daerah yang lain. Logika sederhananya, jika dimisalkan daerah Timur Indonesia sudah berhasil mencapai ukuran hilal dengan ketinggian lebih dari dua derajad, maka hal ini belum bisa dijadikan acuan bahwasannya daerah bagian Barat Indonesia ketinggian hilalnya sama dengan bagian Timur.
Adapun malam Lailatul Qadar pada dasarnya hanya terjadi satu kali dalam setahun, yaitu salah satu malam ganjilnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, entah itu malam ganjilnya Nahdlatul Ulama’, Muhamadiyah, atau ormas yang lain. Jadi hendaklah mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di semua malam sepuluh hari terakhirnya bulan Ramadhan. Sebab, siapa tahu malam Lailatul Qadar jatuh pada malam ganjilnya orag muhamadiyah, dan siapa tahu jatuh pada saat malam ganjilnya orang nahdlatul ulama. Namun perlu diingat bahwa, dalam hadist tersebut mengandung hikmah yang perlu kita ambil pelajarannya, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiqul khoirot). Wallahu a’alam bi al-shawab.
Mahasiswa Kependidikan Islam dan Pegiat Monash of Jurnalistik IAIN Walisongo Semarang