Titik Temu Antaragama
Oleh: Shobikhul Muayyad
Agama merupakan pedoman bagi setiap manusia. Sebab, tanpa suatu keyakinan, kehidupan manusia bisa dipastikan menjadi tidak jelas dan amburadul, karena keyakinan yang benar akan menimbulkan nilai-nilai yang benar pula. Sehingga, manusia haruslah mempunyai suatu keyakinan yang dijadikan sebagai dasar pijakan. Namun, pada dasarnya, kehidupan tanpa keyakinan merupakan suatu perkara yang mustahil. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur’an “ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak cucu Adam, yakni umat manusia yaitu dari punggung-punggung mereka bersaksi atas diri mereka,” Bukankah Aku adalah Tuhanmu?” mereka semua menjawab, “Ya, kami semua bersaksi.” Maka janganlah kamu kelak di hari kiamat berkata, “ Sesungguhnya kami lupa akan hal itu.(QS. 7:172)
Ayat di atas merupakan bukti bahwa, sebenarnya sebelum manusia lahir di bumi, sudah mempunyai keyakinan dan bersaksi atas Tuhan yang esa. Entah setelah dilahirkan, manusia mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Mulai dari Islam, Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. Seringkali, tiga agama samawi tersebut saling menyalahkan satu sama lain. Bahkan, tak jarang terjadi pertempuran antaragama. Sehingga, banyak nyawa yang ‘terbuang’ sia-sia.
Tiga agama besar itu, memang mempunyai argumen tersendiri untuk menyatakan bahwa, kelompoknyalah yang paling benar. Sehingga, timbul tingkah laku primordial atas kelompoknya masing-masing. Oleh sebab itu, tidak ada kran kebenaran terhadap agama satu dengan yang lain. Akibatnya, hubungan antaragama semakin tertutup dan kehidupan sosial terkesan monoton.
Apabila kita pahami, semangat beragama tidak lain hanyalah menegakkan suatu tingkah laku kebaikan, kedamaian, dan kenyamanan terhadap seluruh umat manusia. Namun, apabila kenyataan yang terjadi ialah suatu permusushan, maka beragama tidak mempunyai arti signifikan. Alangkah lebih baik, tidak beragama, akan tetapi kehidupan sosial berjalan dengan baik, indah, aman, nyaman, dan penuh kasih.
Lahirnya suatu agama, tidak akan terlepas oleh nabi. Sebab, nabi ialah manusia yang dipilih oleh Tuhan sebagi petunjuk jalan menuju kebenaran. Dan apabila kita sebagai umat islam mengimani nabi Muhammad, maka secara tidak langsung juga harus mengimani nabi-nabi sebelum Muhammad. Karena, nabi Muhammad merupakan penerus ajaran bagi nabi-nabi sebelumnya. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an bahwa, tidak ada satu umat pun kecuali telah pernah datang kepadanya seorang pemberi peringatan (nabi). “Dan pada setiap umat Kami sudah mengutus seorang rasul, (dengan perintah) “sembahlah Allah dan jauhilah setan”: diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah, dan sebagian ada yang ditimpa kesesatan yang sudah semestinya terjadi. Maka mengembaralah dimuka bumi dan lihatlah bagaimana kesudahan mereka yang mendustakan kebenaran. (QS. 16:39)
Ayat di atas merupakan bukti bahwa, setiap umat pasti mepunyai seorang pemberi peringatan (nabi). Nah, persoalannya saat ini ialah, apakah agama islam yang di bawa oleh nabi Muhammad merupakan satu-satunya agama yang paling benar? Sehingga kita sebagai umat islam menafikan adanya agama-agama lain? padahal, setiap umat manusia mempunyai nabi? Dan nabi merupakan petunjuk kebenaran bagi umat manusia. Apabila umat islam masih primordial dan tidak membuka kran kebenaran terhadap agama lain, maka dengan sendirinya umat islam juga tidak mempercayai adanya nabi-nabi terdahulu.
Nah, persoalan seperti ini memang patut diperbincangkan. Sebab, Tuhan seakan ‘ragu’ dengan agama yang diturunkanNya sendiri. Mulai dari agama yang di bawa oleh nabi Musa (Yahudi) yang dikenal sangat keras. Kemudian datang agama kristen yang di bawa oleh nabi Isa yang ajarannya sangat permisif. Lalu, datang nabi Muhammad dengan membawa agama islam yang sangat moderat, dan mengatakan bahwa dirinya (muhammad) merupakan nabi akhir zaman.
Islam di bawa oleh nabi Muhammad dengan jargon rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Akan tetapi kenyataanya, wajah islam saat ini bukanlah sebagai agama yang ramah. Banyak umat islam yang enggan membantu umat non muslim. Bahkan mengucapkan salam pun tak mau. Apabila ditilik dari segi makna, perkataan Islam adalah masdar dari kata kerja aslama-yuslimu, sama halnya dengan perkataan iman yang merupakan masdar dari kata kerja amana-yu’minu yang artinya ‘’mempercayai atau memasrahkan diri’’ atau ‘’bersikap pasrah’’. Oleh sebab itu, dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagi sikap “ber-iman” dan “ber-islam”.
Nah, sikap pasrah kepada Tuhan yang esa, sebenrnya merupakan inti dari ajaran agama-agama samawi. Jadi, apabila dipahami, agama yang turun dari langit, tidak mempunyai nama khusus. Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad, mengajak setiap kaumnya untuk menyembah kepada Tuhan yang esa.
Nabi Ibrahim mengenal Tuhan yang esa dengan sebutan El. Menurut para ahli, di lembah Irak terdapat negeri yang disebut Babil (babilonia), suatu nama yang berasal dari bahasa semitik, bab El, artinya “pintu Tuhan”. Sebutan El merupakan suatu cognate yang sangat umum dalam bahasa-bahasa semitik untuk pengertian Tuhan, yang dalam bahasa Arab, cognate itu “al” menjadi “al-illah” dan kemudian dipendekkan menjadi “al-lah”{Allah}, seperti disebtkan dalam kitab-kitab tafsir, khususnya oleh Zamarkhsyari dan al-Baydlawi, dalam menguraikan nama “Allah” dalam basmalah. Begitu juga dengan nabi Musa yang menyebut Tuhan yang esa dengan sebutan “Yahweh”.
Pada intinya, setiap nabi-nabi terdahulu mengajak kaumnya untuk menyembah dan pasrah kepada Tuhan yang esa. Akan tetapi, nama-nama Tuhan, mereka sebut dengan sebutan yang berbeda-beda menurut bahsa mereka. Mungkin, apabila ada nabi yang hidup di Jawa, maka menyebut Tuhan yang esa dengan sebutan “pangeran”, entah yang dimaksud pangeran Diponegoro atau yang lain.
Nabi Muhammad diperintah Allah untuk meneruskan ajaran Ibrahim. Nabi Ibrahim dikenal sebagai “bapak Tauhid”. Ajarannya yang hanif telah menginsprasi setiap agama samawi. Bahkan muncul klaim bahwa Ibrahim merupakan seorang Yahudi maupun Nasrani. Berkaitan dengan ini, dalam al-Qur’an tercatat adanya polemik antara nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi terkait klaim tersebut. akan tetapi, al-Qur’an menyanggah dengan mengemukakan kenyataan bahwa kitab suci Taurat dan Injil diturunkan masing-masing kepada Musa dan Isa a.s jauh sesudah Nabi Ibrahim. “wahai kaum ahli kitab, mengapa kamu berbantahan tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidaklah diturunkan melainkan sesudah dia. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu? (QS. 3:65). Ayat tersebut merupakan sanggahan bahwa, nabi Ibrahim bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani, akan tetapi ia hanyalah seoarng yang hanif (orang yang memiliki kecenderungan yang suci dan pemihakan alami kepada kebenaran), dan ia adalah seorang yang muslim (orang yang dengan tulus berserah diri kepada Tuhan). Oleh sebab itu, yang paling berhak atas Ibrahim ialah mereka yang mengkuti ajarannya (QS 3:66-68).
Ajaran Muhammad tidak lain adalah meneruskan ajaran Ibrahim. Apabila kita mengikuti Muhammad, maka sudah pasti kita juga mengimani Ibrahim. Nah, kenyataan seperti inilah yang diimani oleh ahli kitab, seperti Yahudi dan Kristen. Mereka tidak lain hanya percaya kepada Tuhan yang esa, bukan yang lain. sebab, mereka juga mempunyai nabi, yaitu nabi Musa dan Isa a.s. Di sinilah bukti pertemuan titik temu antaragama.
Berbicara mengenai agama mana yang paling benar, tentu bukanlah Islam secara formal yang dibawa oleh nabi Muhammad. Akan tetapi, agama yang paling benr ialah kehanifan yang lapang. Yaitu, konsep theology yang diajarkan oleh nabi Ibrahim dan diteruskan oleh nabi Muhammad. Ajaran yang dibawa nabi Memang benar, seperti argumen yang sudah dijelaskan di depan, bahwa nabi sebagi petunjuk kebenaran. Akan tetapi, agama tidak terpaku oleh nama. Yang terpenting dalam agama ialah ajarannya. Apabila kita mengamalkan ajaran islam, maka dengan sendirinya kita sudah termasuk sebagai muslim. Muslim sejati bukanlah sekedar pengakuan di lisan maupun di KTP, akan tetapi mematuhi ajaran-ajaran yang sudah dijelaskan oleh Tuhan. Al-Qur’an menjelaskan, “Kemudian Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), hendaknya engkau ikuti ajaran millat Ibrahim sebagi seorang yang hanif. Dia bukanlah tergolong kaum musyrik” (QS. 16:123). Ayat tersebut menjelaskan, bahwa agama yang dibawa Muhammad merupakan agama yang hanif, seperti apa yang diperintahkan oleh Allah. Hanif sendiri dimakanai sebagai condong dan pasrah kepada kebenaran (Tuhan YME), yaitu mempunyai arti yang sama dengan kata islam. Jadi, agama yang paling benar ialah agama yang hanif.
Nabi Muhammad menegasakan bahwa, “sebaik-baik agama ialah kehanifan yang lapang (al-hanifiyyah al-samhah) (hadits tercantum sebagai judul kitab al-imam dalam shahih al-Bukhari, dari riwayat Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, ditanya Rasulullah “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah? Beliau (Muhammad) menjawab, “kehanifan yang lapang”). Jadi, yang dimaksud non-muslim atau orang biasa menyebut sebagi kafir, yaitu bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani. Sebab, mereka mempunyai sebutan tersendiri dalam al-Qur’an, yaitu ahli kitab. Dan apabila mereka masih mengamalkan ajaran kitab yang haq dan mengamalkan konsep tauhid nabi Ibarahim, maka tidak layak disebut musyrik. Bahkan, umat Islam saat ini bisa disebut musyrik atau kafir, apabila tidak mengamalkan ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai islam.
Sebab, dalam al-Qur’an banyak menceritakan kisah-kisah nabi terdahulu yang sebenarnya mereka juga muslim. Jadi, islam bukanlah satu-satunya agama yang dibawa oleh nabi Muhammad. Akan tetapi, al-islam sebagi agama para nabi. Secara ringkas dan mewakili dijelasakan oleh al-Qur’an dalam rangkaian ajaran nabi Ibrahim dan pesannya kepada anak cucunya:
“siapalah yang merasa tidak senang kepada agama Ibrahim kecuali orang-orang yang membodohi dirinya sendiri?! Kami sungguh telah memilihnya di dunia, dan di akhirat pastilah ia tergolong orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “pasrahlah engkau!” ia menjawab, aku pasarh kepada Tuhan seru sekalian alam”. Dan Ibrahim pun berpesan dengan ajaran itu kepada anak-anaknya, begitu pula Ya’qub: wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kamu ajaran ketundukan (al-Din), maka janganlah sampai kamu mati kecuali sebagi seorang muslim (pasrah kepada Allah). “ Apakah kamu menjadi saksi saat maut datang kepada Ya’qub, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya,” apa yang akan kalian sembah setelah aku tidak ada? Mereka menjawab, “kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, yaitu Tuhan YME, dan kami semua orang-orang yang muslim kepada-Nya (QS. 2:130-133)
Ayat di atas tersebut menunjukkan bahwa, agama islam sebagai agama kepasrahan merupakan agama nabi-nabi terdahulu hingga nabi Muhammad. Yang membedakan nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya ialah, bahwa nabi Muhammad memberi nama agama yang dibawanya dengan sebutan “agama Islam”. Akan tetapi, nabi-nabi terdahulu hanya mengamalkan ajaran kepasrahan, meskipun tidak menyebut islam sebagi nama.
Bukti lain dalam al-Qur’an ialah, berkenanaan dengan nabi Isaserta para pengikutnya, kitab suci menuturkan sebagi berikut,” setelah Isa merasakan adanya sikap menolak kafir pada mereka (Bani Israel), ia pun bertanya, siapakah yang akan menjadi pendukungku menuju kepada Allah?” Al-hawariyyun (para pengikut setianya) menyahut, “ Kamilah para pendukung Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim” (QS. 3:52)
Kesimpulannya ialah, yang bukan muslim berarti ia musyrik. Jadi, Kristen, Yahudi, Islam, sama-sama berpeluang untuk menjadi muslim yang sejati. Dan, yang paling berhak mengadili dan memberi ganjran kelak nantinya hanyalah ALLAH semata !!!! wallahu a’lam bi al-Shawab
*Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Ketua Forum Diskusi Keagamaan (FORDISSKA)
Oleh: Shobikhul Muayyad
Agama merupakan pedoman bagi setiap manusia. Sebab, tanpa suatu keyakinan, kehidupan manusia bisa dipastikan menjadi tidak jelas dan amburadul, karena keyakinan yang benar akan menimbulkan nilai-nilai yang benar pula. Sehingga, manusia haruslah mempunyai suatu keyakinan yang dijadikan sebagai dasar pijakan. Namun, pada dasarnya, kehidupan tanpa keyakinan merupakan suatu perkara yang mustahil. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur’an “ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak cucu Adam, yakni umat manusia yaitu dari punggung-punggung mereka bersaksi atas diri mereka,” Bukankah Aku adalah Tuhanmu?” mereka semua menjawab, “Ya, kami semua bersaksi.” Maka janganlah kamu kelak di hari kiamat berkata, “ Sesungguhnya kami lupa akan hal itu.(QS. 7:172)
Ayat di atas merupakan bukti bahwa, sebenarnya sebelum manusia lahir di bumi, sudah mempunyai keyakinan dan bersaksi atas Tuhan yang esa. Entah setelah dilahirkan, manusia mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Mulai dari Islam, Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. Seringkali, tiga agama samawi tersebut saling menyalahkan satu sama lain. Bahkan, tak jarang terjadi pertempuran antaragama. Sehingga, banyak nyawa yang ‘terbuang’ sia-sia.
Tiga agama besar itu, memang mempunyai argumen tersendiri untuk menyatakan bahwa, kelompoknyalah yang paling benar. Sehingga, timbul tingkah laku primordial atas kelompoknya masing-masing. Oleh sebab itu, tidak ada kran kebenaran terhadap agama satu dengan yang lain. Akibatnya, hubungan antaragama semakin tertutup dan kehidupan sosial terkesan monoton.
Apabila kita pahami, semangat beragama tidak lain hanyalah menegakkan suatu tingkah laku kebaikan, kedamaian, dan kenyamanan terhadap seluruh umat manusia. Namun, apabila kenyataan yang terjadi ialah suatu permusushan, maka beragama tidak mempunyai arti signifikan. Alangkah lebih baik, tidak beragama, akan tetapi kehidupan sosial berjalan dengan baik, indah, aman, nyaman, dan penuh kasih.
Lahirnya suatu agama, tidak akan terlepas oleh nabi. Sebab, nabi ialah manusia yang dipilih oleh Tuhan sebagi petunjuk jalan menuju kebenaran. Dan apabila kita sebagai umat islam mengimani nabi Muhammad, maka secara tidak langsung juga harus mengimani nabi-nabi sebelum Muhammad. Karena, nabi Muhammad merupakan penerus ajaran bagi nabi-nabi sebelumnya. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an bahwa, tidak ada satu umat pun kecuali telah pernah datang kepadanya seorang pemberi peringatan (nabi). “Dan pada setiap umat Kami sudah mengutus seorang rasul, (dengan perintah) “sembahlah Allah dan jauhilah setan”: diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah, dan sebagian ada yang ditimpa kesesatan yang sudah semestinya terjadi. Maka mengembaralah dimuka bumi dan lihatlah bagaimana kesudahan mereka yang mendustakan kebenaran. (QS. 16:39)
Ayat di atas merupakan bukti bahwa, setiap umat pasti mepunyai seorang pemberi peringatan (nabi). Nah, persoalannya saat ini ialah, apakah agama islam yang di bawa oleh nabi Muhammad merupakan satu-satunya agama yang paling benar? Sehingga kita sebagai umat islam menafikan adanya agama-agama lain? padahal, setiap umat manusia mempunyai nabi? Dan nabi merupakan petunjuk kebenaran bagi umat manusia. Apabila umat islam masih primordial dan tidak membuka kran kebenaran terhadap agama lain, maka dengan sendirinya umat islam juga tidak mempercayai adanya nabi-nabi terdahulu.
Nah, persoalan seperti ini memang patut diperbincangkan. Sebab, Tuhan seakan ‘ragu’ dengan agama yang diturunkanNya sendiri. Mulai dari agama yang di bawa oleh nabi Musa (Yahudi) yang dikenal sangat keras. Kemudian datang agama kristen yang di bawa oleh nabi Isa yang ajarannya sangat permisif. Lalu, datang nabi Muhammad dengan membawa agama islam yang sangat moderat, dan mengatakan bahwa dirinya (muhammad) merupakan nabi akhir zaman.
Islam di bawa oleh nabi Muhammad dengan jargon rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Akan tetapi kenyataanya, wajah islam saat ini bukanlah sebagai agama yang ramah. Banyak umat islam yang enggan membantu umat non muslim. Bahkan mengucapkan salam pun tak mau. Apabila ditilik dari segi makna, perkataan Islam adalah masdar dari kata kerja aslama-yuslimu, sama halnya dengan perkataan iman yang merupakan masdar dari kata kerja amana-yu’minu yang artinya ‘’mempercayai atau memasrahkan diri’’ atau ‘’bersikap pasrah’’. Oleh sebab itu, dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagi sikap “ber-iman” dan “ber-islam”.
Nah, sikap pasrah kepada Tuhan yang esa, sebenrnya merupakan inti dari ajaran agama-agama samawi. Jadi, apabila dipahami, agama yang turun dari langit, tidak mempunyai nama khusus. Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad, mengajak setiap kaumnya untuk menyembah kepada Tuhan yang esa.
Nabi Ibrahim mengenal Tuhan yang esa dengan sebutan El. Menurut para ahli, di lembah Irak terdapat negeri yang disebut Babil (babilonia), suatu nama yang berasal dari bahasa semitik, bab El, artinya “pintu Tuhan”. Sebutan El merupakan suatu cognate yang sangat umum dalam bahasa-bahasa semitik untuk pengertian Tuhan, yang dalam bahasa Arab, cognate itu “al” menjadi “al-illah” dan kemudian dipendekkan menjadi “al-lah”{Allah}, seperti disebtkan dalam kitab-kitab tafsir, khususnya oleh Zamarkhsyari dan al-Baydlawi, dalam menguraikan nama “Allah” dalam basmalah. Begitu juga dengan nabi Musa yang menyebut Tuhan yang esa dengan sebutan “Yahweh”.
Pada intinya, setiap nabi-nabi terdahulu mengajak kaumnya untuk menyembah dan pasrah kepada Tuhan yang esa. Akan tetapi, nama-nama Tuhan, mereka sebut dengan sebutan yang berbeda-beda menurut bahsa mereka. Mungkin, apabila ada nabi yang hidup di Jawa, maka menyebut Tuhan yang esa dengan sebutan “pangeran”, entah yang dimaksud pangeran Diponegoro atau yang lain.
Nabi Muhammad diperintah Allah untuk meneruskan ajaran Ibrahim. Nabi Ibrahim dikenal sebagai “bapak Tauhid”. Ajarannya yang hanif telah menginsprasi setiap agama samawi. Bahkan muncul klaim bahwa Ibrahim merupakan seorang Yahudi maupun Nasrani. Berkaitan dengan ini, dalam al-Qur’an tercatat adanya polemik antara nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi terkait klaim tersebut. akan tetapi, al-Qur’an menyanggah dengan mengemukakan kenyataan bahwa kitab suci Taurat dan Injil diturunkan masing-masing kepada Musa dan Isa a.s jauh sesudah Nabi Ibrahim. “wahai kaum ahli kitab, mengapa kamu berbantahan tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidaklah diturunkan melainkan sesudah dia. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu? (QS. 3:65). Ayat tersebut merupakan sanggahan bahwa, nabi Ibrahim bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani, akan tetapi ia hanyalah seoarng yang hanif (orang yang memiliki kecenderungan yang suci dan pemihakan alami kepada kebenaran), dan ia adalah seorang yang muslim (orang yang dengan tulus berserah diri kepada Tuhan). Oleh sebab itu, yang paling berhak atas Ibrahim ialah mereka yang mengkuti ajarannya (QS 3:66-68).
Ajaran Muhammad tidak lain adalah meneruskan ajaran Ibrahim. Apabila kita mengikuti Muhammad, maka sudah pasti kita juga mengimani Ibrahim. Nah, kenyataan seperti inilah yang diimani oleh ahli kitab, seperti Yahudi dan Kristen. Mereka tidak lain hanya percaya kepada Tuhan yang esa, bukan yang lain. sebab, mereka juga mempunyai nabi, yaitu nabi Musa dan Isa a.s. Di sinilah bukti pertemuan titik temu antaragama.
Berbicara mengenai agama mana yang paling benar, tentu bukanlah Islam secara formal yang dibawa oleh nabi Muhammad. Akan tetapi, agama yang paling benr ialah kehanifan yang lapang. Yaitu, konsep theology yang diajarkan oleh nabi Ibrahim dan diteruskan oleh nabi Muhammad. Ajaran yang dibawa nabi Memang benar, seperti argumen yang sudah dijelaskan di depan, bahwa nabi sebagi petunjuk kebenaran. Akan tetapi, agama tidak terpaku oleh nama. Yang terpenting dalam agama ialah ajarannya. Apabila kita mengamalkan ajaran islam, maka dengan sendirinya kita sudah termasuk sebagai muslim. Muslim sejati bukanlah sekedar pengakuan di lisan maupun di KTP, akan tetapi mematuhi ajaran-ajaran yang sudah dijelaskan oleh Tuhan. Al-Qur’an menjelaskan, “Kemudian Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), hendaknya engkau ikuti ajaran millat Ibrahim sebagi seorang yang hanif. Dia bukanlah tergolong kaum musyrik” (QS. 16:123). Ayat tersebut menjelaskan, bahwa agama yang dibawa Muhammad merupakan agama yang hanif, seperti apa yang diperintahkan oleh Allah. Hanif sendiri dimakanai sebagai condong dan pasrah kepada kebenaran (Tuhan YME), yaitu mempunyai arti yang sama dengan kata islam. Jadi, agama yang paling benar ialah agama yang hanif.
Nabi Muhammad menegasakan bahwa, “sebaik-baik agama ialah kehanifan yang lapang (al-hanifiyyah al-samhah) (hadits tercantum sebagai judul kitab al-imam dalam shahih al-Bukhari, dari riwayat Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, ditanya Rasulullah “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah? Beliau (Muhammad) menjawab, “kehanifan yang lapang”). Jadi, yang dimaksud non-muslim atau orang biasa menyebut sebagi kafir, yaitu bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani. Sebab, mereka mempunyai sebutan tersendiri dalam al-Qur’an, yaitu ahli kitab. Dan apabila mereka masih mengamalkan ajaran kitab yang haq dan mengamalkan konsep tauhid nabi Ibarahim, maka tidak layak disebut musyrik. Bahkan, umat Islam saat ini bisa disebut musyrik atau kafir, apabila tidak mengamalkan ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai islam.
Sebab, dalam al-Qur’an banyak menceritakan kisah-kisah nabi terdahulu yang sebenarnya mereka juga muslim. Jadi, islam bukanlah satu-satunya agama yang dibawa oleh nabi Muhammad. Akan tetapi, al-islam sebagi agama para nabi. Secara ringkas dan mewakili dijelasakan oleh al-Qur’an dalam rangkaian ajaran nabi Ibrahim dan pesannya kepada anak cucunya:
“siapalah yang merasa tidak senang kepada agama Ibrahim kecuali orang-orang yang membodohi dirinya sendiri?! Kami sungguh telah memilihnya di dunia, dan di akhirat pastilah ia tergolong orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “pasrahlah engkau!” ia menjawab, aku pasarh kepada Tuhan seru sekalian alam”. Dan Ibrahim pun berpesan dengan ajaran itu kepada anak-anaknya, begitu pula Ya’qub: wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kamu ajaran ketundukan (al-Din), maka janganlah sampai kamu mati kecuali sebagi seorang muslim (pasrah kepada Allah). “ Apakah kamu menjadi saksi saat maut datang kepada Ya’qub, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya,” apa yang akan kalian sembah setelah aku tidak ada? Mereka menjawab, “kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, yaitu Tuhan YME, dan kami semua orang-orang yang muslim kepada-Nya (QS. 2:130-133)
Ayat di atas tersebut menunjukkan bahwa, agama islam sebagai agama kepasrahan merupakan agama nabi-nabi terdahulu hingga nabi Muhammad. Yang membedakan nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya ialah, bahwa nabi Muhammad memberi nama agama yang dibawanya dengan sebutan “agama Islam”. Akan tetapi, nabi-nabi terdahulu hanya mengamalkan ajaran kepasrahan, meskipun tidak menyebut islam sebagi nama.
Bukti lain dalam al-Qur’an ialah, berkenanaan dengan nabi Isaserta para pengikutnya, kitab suci menuturkan sebagi berikut,” setelah Isa merasakan adanya sikap menolak kafir pada mereka (Bani Israel), ia pun bertanya, siapakah yang akan menjadi pendukungku menuju kepada Allah?” Al-hawariyyun (para pengikut setianya) menyahut, “ Kamilah para pendukung Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim” (QS. 3:52)
Kesimpulannya ialah, yang bukan muslim berarti ia musyrik. Jadi, Kristen, Yahudi, Islam, sama-sama berpeluang untuk menjadi muslim yang sejati. Dan, yang paling berhak mengadili dan memberi ganjran kelak nantinya hanyalah ALLAH semata !!!! wallahu a’lam bi al-Shawab
*Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Ketua Forum Diskusi Keagamaan (FORDISSKA)