Perefleksian Konsepsi Diri, Keluarga, Komunitas
Oleh: Widyawati
Berbicara mengenai lingkungan sosial, tentu tidak terlepas dari yang namanya konsep dinamika sosial. Dinamika sosial itu sendiri mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan sosial dan kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Konsep dinamika dalam lingkungan kehidupan sosial terbagi dalam konsep dinamika diri, keluarga, dan komunitas.
Dalam pandangan sosial, konsep dinamika diri merupakan suatu hal yang kompleks dan abstrak serta tidak terwujud melainkan dapat dirasakan. Dengan adanya konsep dinamika ini, seorang individu dapat melakukan refleksi diri tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi padi diri individu tersebut. Hal ini berkaitan dengan konsep ilmu biologi bahwa dalam diri tiap individu memiliki perbedaan pola pikir yang tidak hanya ditentukan oleh sistem gen biologisnya saja, melainkan juga ditentukan oleh akal dan jiwanya.
Juga dapat dikatakan bahwa masalah perbedaan pola pikir antar individu itu berkaitan erat dengan pola kelakuan (behaviour) dan pola tindakan (action) seorang individu. Pola kelakuan-kelakuan ini ditentukan oleh naluri, dorongan, refleks, atau kelakuan manusia yang tidak lagi dipengaruhi dan ditentukan akal dan jiwanya, yaitu kelakuan manusia yang membabi buta.
Misalnya jika kita melihat contoh refleksi diri seseorang dalam meningkatkan kesadaran akan pluralisme budaya. Memang ironis, ketika kita menyadari bahwa kita telah tercebur dalam comberan demi pemuasan nafsu saja. Hal ini sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan di negara yang mendapat julukan plural of culture (banyak budaya), seharusnya kita mempunyai kesadaran diri mengenai hal itu. Pentingnya berinteraksi dengan lain budaya memanglah sangat penting mengingat keragaman budaya yanng dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan konsep manusia yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam kenyataannya kita saling membutuhkan orang lain. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan konsep tersebut. Bahkan bisa dikatakan melenceng jauh. Karena fakta sesungguhnya, dalam keberagaman budaya yang kita miliki ini justru malah menimbulkan konflik yang semestinya tidak perlu.
Misalnya dapat dilihat sendiri, seorang individu yang terlalu fanatik terhadap budaya lingkungannya akan merasa bahwa budaya daerah lain itu sebagai saingan. Hal ini akan memunculkan sikap individualisme dan memandang orang dari daerah lain adalah musuh. Sungguh sangatt disayangkan, jika kesadaran diri ini hanyalah sebuah angin lalu. Seharusnya perbedaan itulah yang mendorong kita untuk melaksanakan proses interaksi dengan orang lain. Pentingnya meningkatkan kesadaran diri akan banyaknya budaya yang kita miliki ini adalah momok utama dalam kehidupan berbangsa. Sehingga kita termotivatsi untuk mengenal budaya daerah lain.
Jika dalam dinamika diri adalah refleksi kita mengenai suatu hal yang tidak sesuai, ini juga berkaitan dengan pembentukan kepribadian. Kepribadian sendiri dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Jadi antara dinamika diri terhadap keluarga memang erat kaitannya. Adanya hubungan antara individu dengan keluarga dan masyarakat (komunitas) itu sama halnya dengan lapisan batang pada tumbuhan yang diantaranya saling melengkapi.
Keluarga bagaikan ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah, satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Keluarga merupakan tempat pertama seorang individu dalam menerima pembelajaran pertama untuk nantinya sebagai bekal sebelum terjun di lingkungan masyarakat atau komunitas. Jadi dinamika keluarga ini lebih menekankan kepada interaksi antara individu dan lingkungan sehingga dapat diterima serta menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan keluarga maupun kelompok sosial.
Dalam dinamika keluarga itu pun memunculkan permasalahan-permasalahan sehinggga memunculkan refleki atau pengintrospeksian diri. Seperti halnya masalah yang basanya timbul dalam kehidupan berkeluarga, yaitu dalam lingkup anak remaja. Biasanya kenakalan remaja ini diakibatkan oleh didikan keluarga yang kurang mendukung. Ini diperlukan adanya refleksi dalam diri keluarga itu sendiri. Apa permasalahannya? Dan solusi apa yang mungkin bisa untuk mengatasinya.
Selanjutnya seorang individu akan disiapkan oleh keluarganya sehingga nantinya mampu bersosialisasi dengan komunitasnya. Menurut pendapat Koentjaraningrat, masyarakat (komunitas) adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, ataun dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia yang dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-waarganya dapat saling berinteraksi.
Dalam suatu komunitas antar individu akan melakukan interaksi satu sama lain. Keselarasan dalam berinteraksi itu semakin meningkat apabila keduanya memiliki kesatuan ideologis yang sama. Sehingga dapat dipastikan bahwa mereka akan saling menjalin hubungan sosial dengan baik. Selain itu, adanya prasarana untuk berinteraksi menjadikan warga dari suatu kolektif manusia itu akan saling berinteraksi; sebaliknya , adanya hanya suatu potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu kesatuan manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Jadi interelasi antar diri, keluarga dan komunitas dapat dikiaskann dengan lapisan batang pada tumbuhan, yang mana terdiri dari tiga buah lapisan, diantaranya diri, keluarga dan komunitas.
Dalam konteks itu, individu berkedudukan sebagai lapisan endodermis (lapisan dalam). Karena individu adalah bagian terkecil dari suatu komunitas. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas keluarga maupun komunitas dalam masyarakat. Individu ini nantinya akan membentuk suatu interaksi atau hubungan dalam komunitasnya sehingga kelangsungan hidupnya dapat berjalan dengan baik. Sama halnya dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politicon.
Jadi, kesadaran mengenai keterkaitan antara dinamika diri, keluarga, dan komunitas sangatlah penting. Mengingat kita adalah makhluk yang tidak terlepas dari suatu komunitas. Kesadaran ini nantinya akan memunculkan sikap saling membutuhkan satu sama lain, sehinggga dapat memunculkan rasa solidaritas yang tinggi.
*Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute dan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Oleh: Widyawati
Berbicara mengenai lingkungan sosial, tentu tidak terlepas dari yang namanya konsep dinamika sosial. Dinamika sosial itu sendiri mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan sosial dan kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Konsep dinamika dalam lingkungan kehidupan sosial terbagi dalam konsep dinamika diri, keluarga, dan komunitas.
Dalam pandangan sosial, konsep dinamika diri merupakan suatu hal yang kompleks dan abstrak serta tidak terwujud melainkan dapat dirasakan. Dengan adanya konsep dinamika ini, seorang individu dapat melakukan refleksi diri tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi padi diri individu tersebut. Hal ini berkaitan dengan konsep ilmu biologi bahwa dalam diri tiap individu memiliki perbedaan pola pikir yang tidak hanya ditentukan oleh sistem gen biologisnya saja, melainkan juga ditentukan oleh akal dan jiwanya.
Juga dapat dikatakan bahwa masalah perbedaan pola pikir antar individu itu berkaitan erat dengan pola kelakuan (behaviour) dan pola tindakan (action) seorang individu. Pola kelakuan-kelakuan ini ditentukan oleh naluri, dorongan, refleks, atau kelakuan manusia yang tidak lagi dipengaruhi dan ditentukan akal dan jiwanya, yaitu kelakuan manusia yang membabi buta.
Misalnya jika kita melihat contoh refleksi diri seseorang dalam meningkatkan kesadaran akan pluralisme budaya. Memang ironis, ketika kita menyadari bahwa kita telah tercebur dalam comberan demi pemuasan nafsu saja. Hal ini sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan di negara yang mendapat julukan plural of culture (banyak budaya), seharusnya kita mempunyai kesadaran diri mengenai hal itu. Pentingnya berinteraksi dengan lain budaya memanglah sangat penting mengingat keragaman budaya yanng dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan konsep manusia yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam kenyataannya kita saling membutuhkan orang lain. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan konsep tersebut. Bahkan bisa dikatakan melenceng jauh. Karena fakta sesungguhnya, dalam keberagaman budaya yang kita miliki ini justru malah menimbulkan konflik yang semestinya tidak perlu.
Misalnya dapat dilihat sendiri, seorang individu yang terlalu fanatik terhadap budaya lingkungannya akan merasa bahwa budaya daerah lain itu sebagai saingan. Hal ini akan memunculkan sikap individualisme dan memandang orang dari daerah lain adalah musuh. Sungguh sangatt disayangkan, jika kesadaran diri ini hanyalah sebuah angin lalu. Seharusnya perbedaan itulah yang mendorong kita untuk melaksanakan proses interaksi dengan orang lain. Pentingnya meningkatkan kesadaran diri akan banyaknya budaya yang kita miliki ini adalah momok utama dalam kehidupan berbangsa. Sehingga kita termotivatsi untuk mengenal budaya daerah lain.
Jika dalam dinamika diri adalah refleksi kita mengenai suatu hal yang tidak sesuai, ini juga berkaitan dengan pembentukan kepribadian. Kepribadian sendiri dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Jadi antara dinamika diri terhadap keluarga memang erat kaitannya. Adanya hubungan antara individu dengan keluarga dan masyarakat (komunitas) itu sama halnya dengan lapisan batang pada tumbuhan yang diantaranya saling melengkapi.
Keluarga bagaikan ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah, satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Keluarga merupakan tempat pertama seorang individu dalam menerima pembelajaran pertama untuk nantinya sebagai bekal sebelum terjun di lingkungan masyarakat atau komunitas. Jadi dinamika keluarga ini lebih menekankan kepada interaksi antara individu dan lingkungan sehingga dapat diterima serta menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan keluarga maupun kelompok sosial.
Dalam dinamika keluarga itu pun memunculkan permasalahan-permasalahan sehinggga memunculkan refleki atau pengintrospeksian diri. Seperti halnya masalah yang basanya timbul dalam kehidupan berkeluarga, yaitu dalam lingkup anak remaja. Biasanya kenakalan remaja ini diakibatkan oleh didikan keluarga yang kurang mendukung. Ini diperlukan adanya refleksi dalam diri keluarga itu sendiri. Apa permasalahannya? Dan solusi apa yang mungkin bisa untuk mengatasinya.
Selanjutnya seorang individu akan disiapkan oleh keluarganya sehingga nantinya mampu bersosialisasi dengan komunitasnya. Menurut pendapat Koentjaraningrat, masyarakat (komunitas) adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, ataun dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia yang dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-waarganya dapat saling berinteraksi.
Dalam suatu komunitas antar individu akan melakukan interaksi satu sama lain. Keselarasan dalam berinteraksi itu semakin meningkat apabila keduanya memiliki kesatuan ideologis yang sama. Sehingga dapat dipastikan bahwa mereka akan saling menjalin hubungan sosial dengan baik. Selain itu, adanya prasarana untuk berinteraksi menjadikan warga dari suatu kolektif manusia itu akan saling berinteraksi; sebaliknya , adanya hanya suatu potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu kesatuan manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Jadi interelasi antar diri, keluarga dan komunitas dapat dikiaskann dengan lapisan batang pada tumbuhan, yang mana terdiri dari tiga buah lapisan, diantaranya diri, keluarga dan komunitas.
Dalam konteks itu, individu berkedudukan sebagai lapisan endodermis (lapisan dalam). Karena individu adalah bagian terkecil dari suatu komunitas. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas keluarga maupun komunitas dalam masyarakat. Individu ini nantinya akan membentuk suatu interaksi atau hubungan dalam komunitasnya sehingga kelangsungan hidupnya dapat berjalan dengan baik. Sama halnya dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politicon.
Jadi, kesadaran mengenai keterkaitan antara dinamika diri, keluarga, dan komunitas sangatlah penting. Mengingat kita adalah makhluk yang tidak terlepas dari suatu komunitas. Kesadaran ini nantinya akan memunculkan sikap saling membutuhkan satu sama lain, sehinggga dapat memunculkan rasa solidaritas yang tinggi.
*Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute dan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang