Hakikat Pendidikan Terkikis Rakyat Menangis
Oleh: Khoirun Ni’mah*
Pendidikan menjadi tolok ukur tingkat intelektual seseorang. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang bisa dikatakan mempunyai ilmu yang tinggi pula. Namun sebenarnya kualitas keilmuan tidak hanya diukur dari tingginya pendidikan seseorang. Karena faktanya, pendidikan saat ini hanya sebatas formalitas belaka. Formalitas pendidikan bisa didapatkan siapapun yang memiliki kemampuan membayar biaya pendidikan. Jika hanya sebatas mengejar formalitas, maka hakikat pendidikan lama kian lama menjadi terkikis. Karena yang menjadi inti pendidikan sesungguhnya bukan formalitas saja, namun juga hakikat, yakni memahami makna “pendidikan”.
Segala aspek kehidupan menempatkan pendidikan sebagai tolok ukur layaknya posisi seseorang. Realita tersebut berdampak pada cara berfikir mayoritas masyarakat Indonesia. Bahwasannya, jika ingin mendapatkan masa depan yang baik, maka formalitas pendidikan harus didapatkan. Mayoritas masyarakat Indonesia masih mempunyai cara berfikir yang sederhana dan materialistik. Kemapanan hidup dan masa depan seseorang hanya diukur dengan materi. Cara berfikir yang salah tersebut pada akhirnya menjadikan formalitas pendidikan sebagai orientasi yang merusak hakikat pendidikan. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan berbagi polemik dalam negeri.
Dalam ilmu filsafat, Socrates sebagai guru yang mencetak watak atau karakter manusia menyatakan dalam etika filosofisnya, bahwasanya orang yang berbudi adalah orang yang tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan berbuat baik. Hakikat pendidikan adalah membuntuti ketidaktahuan dengan mencari dan belajar dengan serius. Jika pengetahuan telah terpatri dalam hati, maka berbuat baik menjadi hal yang mudah dilakukan. Dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hakikat pendidikan seharusnya dapat diperoleh dengan mudah oleh setiap pencari ilmu. Namun, kemudahan yang telah disajikan ternyata menjadi penghambat untuk dapat belajar dengan maksimal. Pelajar menjadi termanjakan oleh teknologi. Realita tersebut berbeda dengan situasi dan kondisi masyarakat dahulu saat sebelum adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, tentu terlihat sulit. Meskipun demikian, kesulitan tidak lantas menjadikan mereka berputus asa. Mayoritas dari mereka justru mempunyai semangat dan budaya intelektual yang tinggi. Sehingga hasil dari belajar mereka adalah karya, berupa pemikiran maupun buku.
Salah satu penyebab semakin beragamnya polemik yang terjadi di Indonesia adalah lebih diprioritaskannya formalitas atas hakikat pendidikan. Setiap hari selalu ada berita yang tidak menyenangkan dari seluruh lapisan masyarakat. Berita korupsi, perampokan, kriminalitas, dan lain sebagainya menjadi hal yang tidak asing lagi. Korupsi dilakukan oleh para pejabat yang tidak disangsikan lagi adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dan yang lebih memprihatinkan, korupsi telah membudaya bagi negara yang dikenal dunia sebagai negara yang ramah bahkan sebagian penduduknya adalah muslim. Selain mencoreng muka sendiri, pelaku korupsi sesungguhnya telah mengeksploitasi hak rakyat yang menyebabkan penderitaan dimana-mana. Koruptor bersenang-senang diatas rakyat yang masih jumud dalam kebodohan dan kemelaratan. Bagi rakyat kecil, biaya pendidikan dirasa mahal, padahal dibalik hal tersebut, uang rakyat telah masuk ke dalam kantong para tikus berdasi. Menghadapi kehidupan yang dipersulit oleh penguasa dzalim, rakyat yang tak berpendidikan melakukan perampokan demi mempertahankan kehidupan. Lapangan pekerjaan tak menerima mereka karena salah satu syaratnya adalah bukti formal pendidikan. Realita kehidupan sekarang ibarat sebuah ikatan rantai setan yang tiada putusnya.
Tidak ada permasalahan yang tidak ada jalan keluarnya. Memutus rantai setan bukan hal yang sulit jika semua lapisan masyarakat mampu bekerjasama dengan menafikan ego masing-masing. Solusi kongkret untuk memutus rantai kesengsaraan tersebut adalah mewujudkan Indonesia yang pintar, beramal, dan bermoral. Pertama, Indonesia pintar. Pintar yang maksud adalah pintar dengan formalitas dan hakikat pendidikan yang tinggi. Jika pendidikan belum mampu terjangkau oleh sebagian rakyat kecil, maka sudah selayaknya pemerintah meringankan biaya pendidikan dan memberikan beasiswa bagi pelajar yang tidak mampu dan sesuai sasaran. Sistem pendidikan harus mencakup materi ilmu umum dan agama. Karena ilmu umum saja tidaklha cukup, begitu pula sebaliknya. Kedua, Indonesia beramal. Kebutuhan hidup bukan hanya wacana terhadap realita yang ada, namun amal atau aksi nyata menjadi keharusan agar wacana bukan sekedar wacana. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan. Beramal bagi orang yang kaya adalah membantu yang tidak mampu. Dengan saling memberi bukan lantas menjadikan orang miskin menjadi berpangku tangan. Namun, lapisan masyarakat yang terpinggir tersebut harus mempunyai usaha yang keras untuk memperbaiki kehidupan. Hal yang tidak boleh tertinggal adalah perhatian khusus dengan memberikan bekal berupa pelatihan-pelatihan kewirausahaan maupun mendirikan lapangan pekerjaan. Ketiga, Indonesia bermoral. Pendidikan moral perlu diberikan secara khusus. Karena selain krisis ilmu, generasi masa kini juga krisis moral. Dengan bekal moral, diharapkan mampu mengontrol tindak-tanduk dalam kehidupan, sehingga tidak melakukan perbuatan tanpa landasan. Pendidikan moral perlu diberikan dalam usia sedini mungkin. Karena membentuk moral dan karakter seseorang tergantung pada usianya. Semakin muda usianya, semakin lebih mudah dan cepat, begitu juga sebaliknya. Membentuk moral dan karakter orang tua ibarat menegakkan kayu berbatang tua. Wallahua’lam bi al-shawab.
*Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang, Pendidik di PAUD dan TK Islam Mellatena Semarang.
Oleh: Khoirun Ni’mah*
Pendidikan menjadi tolok ukur tingkat intelektual seseorang. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang bisa dikatakan mempunyai ilmu yang tinggi pula. Namun sebenarnya kualitas keilmuan tidak hanya diukur dari tingginya pendidikan seseorang. Karena faktanya, pendidikan saat ini hanya sebatas formalitas belaka. Formalitas pendidikan bisa didapatkan siapapun yang memiliki kemampuan membayar biaya pendidikan. Jika hanya sebatas mengejar formalitas, maka hakikat pendidikan lama kian lama menjadi terkikis. Karena yang menjadi inti pendidikan sesungguhnya bukan formalitas saja, namun juga hakikat, yakni memahami makna “pendidikan”.
Segala aspek kehidupan menempatkan pendidikan sebagai tolok ukur layaknya posisi seseorang. Realita tersebut berdampak pada cara berfikir mayoritas masyarakat Indonesia. Bahwasannya, jika ingin mendapatkan masa depan yang baik, maka formalitas pendidikan harus didapatkan. Mayoritas masyarakat Indonesia masih mempunyai cara berfikir yang sederhana dan materialistik. Kemapanan hidup dan masa depan seseorang hanya diukur dengan materi. Cara berfikir yang salah tersebut pada akhirnya menjadikan formalitas pendidikan sebagai orientasi yang merusak hakikat pendidikan. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan berbagi polemik dalam negeri.
Dalam ilmu filsafat, Socrates sebagai guru yang mencetak watak atau karakter manusia menyatakan dalam etika filosofisnya, bahwasanya orang yang berbudi adalah orang yang tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan berbuat baik. Hakikat pendidikan adalah membuntuti ketidaktahuan dengan mencari dan belajar dengan serius. Jika pengetahuan telah terpatri dalam hati, maka berbuat baik menjadi hal yang mudah dilakukan. Dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hakikat pendidikan seharusnya dapat diperoleh dengan mudah oleh setiap pencari ilmu. Namun, kemudahan yang telah disajikan ternyata menjadi penghambat untuk dapat belajar dengan maksimal. Pelajar menjadi termanjakan oleh teknologi. Realita tersebut berbeda dengan situasi dan kondisi masyarakat dahulu saat sebelum adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, tentu terlihat sulit. Meskipun demikian, kesulitan tidak lantas menjadikan mereka berputus asa. Mayoritas dari mereka justru mempunyai semangat dan budaya intelektual yang tinggi. Sehingga hasil dari belajar mereka adalah karya, berupa pemikiran maupun buku.
Salah satu penyebab semakin beragamnya polemik yang terjadi di Indonesia adalah lebih diprioritaskannya formalitas atas hakikat pendidikan. Setiap hari selalu ada berita yang tidak menyenangkan dari seluruh lapisan masyarakat. Berita korupsi, perampokan, kriminalitas, dan lain sebagainya menjadi hal yang tidak asing lagi. Korupsi dilakukan oleh para pejabat yang tidak disangsikan lagi adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dan yang lebih memprihatinkan, korupsi telah membudaya bagi negara yang dikenal dunia sebagai negara yang ramah bahkan sebagian penduduknya adalah muslim. Selain mencoreng muka sendiri, pelaku korupsi sesungguhnya telah mengeksploitasi hak rakyat yang menyebabkan penderitaan dimana-mana. Koruptor bersenang-senang diatas rakyat yang masih jumud dalam kebodohan dan kemelaratan. Bagi rakyat kecil, biaya pendidikan dirasa mahal, padahal dibalik hal tersebut, uang rakyat telah masuk ke dalam kantong para tikus berdasi. Menghadapi kehidupan yang dipersulit oleh penguasa dzalim, rakyat yang tak berpendidikan melakukan perampokan demi mempertahankan kehidupan. Lapangan pekerjaan tak menerima mereka karena salah satu syaratnya adalah bukti formal pendidikan. Realita kehidupan sekarang ibarat sebuah ikatan rantai setan yang tiada putusnya.
Tidak ada permasalahan yang tidak ada jalan keluarnya. Memutus rantai setan bukan hal yang sulit jika semua lapisan masyarakat mampu bekerjasama dengan menafikan ego masing-masing. Solusi kongkret untuk memutus rantai kesengsaraan tersebut adalah mewujudkan Indonesia yang pintar, beramal, dan bermoral. Pertama, Indonesia pintar. Pintar yang maksud adalah pintar dengan formalitas dan hakikat pendidikan yang tinggi. Jika pendidikan belum mampu terjangkau oleh sebagian rakyat kecil, maka sudah selayaknya pemerintah meringankan biaya pendidikan dan memberikan beasiswa bagi pelajar yang tidak mampu dan sesuai sasaran. Sistem pendidikan harus mencakup materi ilmu umum dan agama. Karena ilmu umum saja tidaklha cukup, begitu pula sebaliknya. Kedua, Indonesia beramal. Kebutuhan hidup bukan hanya wacana terhadap realita yang ada, namun amal atau aksi nyata menjadi keharusan agar wacana bukan sekedar wacana. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan. Beramal bagi orang yang kaya adalah membantu yang tidak mampu. Dengan saling memberi bukan lantas menjadikan orang miskin menjadi berpangku tangan. Namun, lapisan masyarakat yang terpinggir tersebut harus mempunyai usaha yang keras untuk memperbaiki kehidupan. Hal yang tidak boleh tertinggal adalah perhatian khusus dengan memberikan bekal berupa pelatihan-pelatihan kewirausahaan maupun mendirikan lapangan pekerjaan. Ketiga, Indonesia bermoral. Pendidikan moral perlu diberikan secara khusus. Karena selain krisis ilmu, generasi masa kini juga krisis moral. Dengan bekal moral, diharapkan mampu mengontrol tindak-tanduk dalam kehidupan, sehingga tidak melakukan perbuatan tanpa landasan. Pendidikan moral perlu diberikan dalam usia sedini mungkin. Karena membentuk moral dan karakter seseorang tergantung pada usianya. Semakin muda usianya, semakin lebih mudah dan cepat, begitu juga sebaliknya. Membentuk moral dan karakter orang tua ibarat menegakkan kayu berbatang tua. Wallahua’lam bi al-shawab.
*Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang, Pendidik di PAUD dan TK Islam Mellatena Semarang.