Rekonstruksi Penulis Mahasiswa
Oleh : Aulia Rahma
Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghozali “Kalau engkau bukan anak raja, engkau bukan anak ulama’ besar, maka jadilah penulis”. Kata tersebut sangat mengandung arti yang dalam sekali untuk memahami arti dari seorang penulis. Menulis merupakan proses suatu kreatifitas untuk menuangkan gagasan atau ide dalam pikiran kita kedalam bentuk tulisan dengan suatu tujuan tertentu. Menulis adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang tidak buta huruf. Yang mampu mengenal dan merangkai huruf hingga membenuk kata. Paragraf demi paragraf dibuat tertata hingga runtut peristiwa hingga tidak dirasa bingung oleh orang yang membacanya.
Banyak yang beranggapan bahwa tidak mudah membentuk sebuah tulisan utuh yang enak dibaca. Seorang penulis itu harus mempunyai talenta menulis. Padahal para penghasil tulisan yang hebat itu ia tidak akan menjadi hebat jika ia tidak berlatih. Saat mereka menggunakan bahasa yang gaul berarti tulisan tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
Jika kita berbicara tentang menulis, erat hubungannya dengan mahasiswa. Yang mana mahasiswa dituntut untuk melakukan menulis. Mahasiswa yang identik dengan makalah sangat dibebani untuk bisa menulis. Sejarah mencatat, banyak mahasiswa yang mempunyai pikiran kritis dan brilian mempunyai budaya menulis yang cukup tinggi. Tapi pada kenyataannya, mahasiswa sekarang sedikit yang mempunyai kemampuan menulis. Karena mereka tidak terlatih menulis. Menulis harus selalu dibiasakan, karena dengan menulis penyampaian informasi melalui tulisan akan lebih lancar lagi. Sama seperti halnya kita latihan bicara pada saat masih bayi. Kita berusaha untuk berbicara dengan baik, hingga sampai saat ini kitapun mampu menyampaikan informasi dan membuat orang lain mengerti apa yang kita maksudkan. Karena kita tidak sering menyampaikan informasi melalui tulisan maka kita mengalami kesulitan dalam menulis.
Aspek lain adalah adanya kesadaran bagi diri sendiri untuk beranjak dari lamunan dan segera mengambil pena untuk mengawali sebuah tulisan. Dengan begitu adanya ide-ide yang tersumbat di otak dapat segera berada dalam tempat yang cocok. Bagi mahasiswa, seharusnya urusan tulis menulis menjadi makan pokok setiap hari yang tidak bisa mereka hindari. Tetapi, tidak semua mahasiswa bisa menulis kendati ia berprestasi dengan IPK cumclaude. Sebab menulis tidak hanya mengandalkan pengetahuannya secara lisan, tetapi dibutuhkan ketrampilan jemarinya memegang pena atau menekan tombol keyboard computer untuk menyusun huruf demi huruf, merangkai kata hingga menjadi kalimat yang bisa dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Karenanya tak heran bila banyak diantara mahasiswa meski IPK-nya berkepala satu atau dua koma, tetapi ia mempunyai kepiawaian dalam menulis. Karya-karyanya banyak tersebar di kolom-kolom koran local maupun nasional. Dan IPK rendah bukan berarti mahasiswa tersebut teranggap sebagai mahasiswa yang bodoh. Tetapi bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan seprti itu.
Berbicara soal lingkungan kampus, budaya menulis di kampus perlu ditradisikan sejak dini. Artinya, berarti kita juga harus menyinggung struktur secara keseluruhan, baik dosen, karyawan maupun mahasiswanya sendiri. Tapi tampaknya hanya dosen yang perlu kita tuntut dan kita pertanyakan. Sejauh ini presentase kepenulisan di kampus sangat minim. Kalaupun ada, orientasinya yang berbeda. Maka dapat dikatakan bahwa warga perguruan tinggi sepertinya akrab dengan hal-ikhwal yang berkaitan dengan tulis menulis. Sejauh ini, banyak pula mahasiswa yang sangat produktif menulis dan mempunyai kualitas tulisan yang amat bagus.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menulis. Menulis apa sajalah! “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” adalah sebuah hadist yang sering didengar. Perintah ini juga diperkuat oleh kata-kata iqra’ (bacalah) dalam salah satu ayat di kitab suci. Dalam wahyu pertama pula, Tuhan menyebut soal kegiatan menulis. Yakni pada ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan mengajar manusia lewat perantara kalam. Dengan demikian membaca juga sangat mempengaruhi kualitas tulisan. Karenanya harus dilakukan.
“Menulis kalimat pembuka suatu cerita hampir mirip dengan mulai berski di bagian bukit yang paling terjal. Anda harus mengendalikan semua keahlian sejak awal.” [Marion Dane Bauer]
Quote dari “Marion Dane Bauer” itu sangat cocok dengan pernyataan “takut salah, dan takut dikritik orang adalah penghalang utama dalam memulai menggerakan pena diatas kertas”.
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Ketua Pengajian Nasional
Oleh : Aulia Rahma
Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghozali “Kalau engkau bukan anak raja, engkau bukan anak ulama’ besar, maka jadilah penulis”. Kata tersebut sangat mengandung arti yang dalam sekali untuk memahami arti dari seorang penulis. Menulis merupakan proses suatu kreatifitas untuk menuangkan gagasan atau ide dalam pikiran kita kedalam bentuk tulisan dengan suatu tujuan tertentu. Menulis adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang tidak buta huruf. Yang mampu mengenal dan merangkai huruf hingga membenuk kata. Paragraf demi paragraf dibuat tertata hingga runtut peristiwa hingga tidak dirasa bingung oleh orang yang membacanya.
Banyak yang beranggapan bahwa tidak mudah membentuk sebuah tulisan utuh yang enak dibaca. Seorang penulis itu harus mempunyai talenta menulis. Padahal para penghasil tulisan yang hebat itu ia tidak akan menjadi hebat jika ia tidak berlatih. Saat mereka menggunakan bahasa yang gaul berarti tulisan tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
Jika kita berbicara tentang menulis, erat hubungannya dengan mahasiswa. Yang mana mahasiswa dituntut untuk melakukan menulis. Mahasiswa yang identik dengan makalah sangat dibebani untuk bisa menulis. Sejarah mencatat, banyak mahasiswa yang mempunyai pikiran kritis dan brilian mempunyai budaya menulis yang cukup tinggi. Tapi pada kenyataannya, mahasiswa sekarang sedikit yang mempunyai kemampuan menulis. Karena mereka tidak terlatih menulis. Menulis harus selalu dibiasakan, karena dengan menulis penyampaian informasi melalui tulisan akan lebih lancar lagi. Sama seperti halnya kita latihan bicara pada saat masih bayi. Kita berusaha untuk berbicara dengan baik, hingga sampai saat ini kitapun mampu menyampaikan informasi dan membuat orang lain mengerti apa yang kita maksudkan. Karena kita tidak sering menyampaikan informasi melalui tulisan maka kita mengalami kesulitan dalam menulis.
Aspek lain adalah adanya kesadaran bagi diri sendiri untuk beranjak dari lamunan dan segera mengambil pena untuk mengawali sebuah tulisan. Dengan begitu adanya ide-ide yang tersumbat di otak dapat segera berada dalam tempat yang cocok. Bagi mahasiswa, seharusnya urusan tulis menulis menjadi makan pokok setiap hari yang tidak bisa mereka hindari. Tetapi, tidak semua mahasiswa bisa menulis kendati ia berprestasi dengan IPK cumclaude. Sebab menulis tidak hanya mengandalkan pengetahuannya secara lisan, tetapi dibutuhkan ketrampilan jemarinya memegang pena atau menekan tombol keyboard computer untuk menyusun huruf demi huruf, merangkai kata hingga menjadi kalimat yang bisa dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Karenanya tak heran bila banyak diantara mahasiswa meski IPK-nya berkepala satu atau dua koma, tetapi ia mempunyai kepiawaian dalam menulis. Karya-karyanya banyak tersebar di kolom-kolom koran local maupun nasional. Dan IPK rendah bukan berarti mahasiswa tersebut teranggap sebagai mahasiswa yang bodoh. Tetapi bisa jadi ada faktor lain yang menyebabkan seprti itu.
Berbicara soal lingkungan kampus, budaya menulis di kampus perlu ditradisikan sejak dini. Artinya, berarti kita juga harus menyinggung struktur secara keseluruhan, baik dosen, karyawan maupun mahasiswanya sendiri. Tapi tampaknya hanya dosen yang perlu kita tuntut dan kita pertanyakan. Sejauh ini presentase kepenulisan di kampus sangat minim. Kalaupun ada, orientasinya yang berbeda. Maka dapat dikatakan bahwa warga perguruan tinggi sepertinya akrab dengan hal-ikhwal yang berkaitan dengan tulis menulis. Sejauh ini, banyak pula mahasiswa yang sangat produktif menulis dan mempunyai kualitas tulisan yang amat bagus.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menulis. Menulis apa sajalah! “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” adalah sebuah hadist yang sering didengar. Perintah ini juga diperkuat oleh kata-kata iqra’ (bacalah) dalam salah satu ayat di kitab suci. Dalam wahyu pertama pula, Tuhan menyebut soal kegiatan menulis. Yakni pada ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan mengajar manusia lewat perantara kalam. Dengan demikian membaca juga sangat mempengaruhi kualitas tulisan. Karenanya harus dilakukan.
“Menulis kalimat pembuka suatu cerita hampir mirip dengan mulai berski di bagian bukit yang paling terjal. Anda harus mengendalikan semua keahlian sejak awal.” [Marion Dane Bauer]
Quote dari “Marion Dane Bauer” itu sangat cocok dengan pernyataan “takut salah, dan takut dikritik orang adalah penghalang utama dalam memulai menggerakan pena diatas kertas”.
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Ketua Pengajian Nasional